TIMES JOGJA, MALANG – Tujuh tahun lalu, Wahyu Prasetya, penyair kenamaan Kota Malang meninggalkan jagat kesusasteraan Indonesia.
Untuk mengenang kembali proses kreatif sang penyair, Komunitas Pelangi Sastra menghelat acara bertajuk Wahyu, Puisi dan Kota Malang di Kafe Pustaka, Rabu (19/3/2025).
Wahyu Prasetya sendiri merupakan sastrawan era 1980 sampai 2000-an. Lahir pada tahun 1957 dan wafat pada tahun 2018, corak kepenyairannya sendiri dikenal karena gaya bohemian dalam puisi-puisinya.
Karya Wahyu Prasetya sendiri telah terdokumentasi dalam buku-bukunya, termasuk buku berjudul Wahyu Menulis Puisi terbitan Penerbit Pelangi Sastra tahun 2019.
Sebagai upaya mengenang perjalan sang penyair, mulai dari sastrawan muda, kelompok pemusik sampai akademisi sastra turut dihadirkan untuk memeriahkan acara.
Diawali dengan orasi kesusasteraan oleh kritikus sastra dari Universitas Brawijaya, Yusri Fajar, audiens diajak membaca lebih dekat perjalanan estetik melalui kisah sekaligus puisi-puisi Wahyu Prasetya.
Sembari menyitir pendapat Umbu Landu Paranggi - sastrawan Jogja yang berkarir sejak era 60-an, Yusri menyampaikan, kalau Wahyu Prasetya merupakan penyair yang harus terus dikenal karena karya-karyanya.
"Umbu Landu merupakan sastrawan yang kritis dan ojektif dalam menilai. Dan di dalam catatannya, Umbu Landu menyebut nama Wahyu dan Afrizal Malna sebagai penyair fenomenal," ucap Yusri.
Menyusuri puisi-puisi Wahyu Prasetya, menurut Yusri, pembaca akan disajikan dengan ekspresi-ekspresi yang khas, bukan sekadar karya-karya yang dilahirkan sebagai respons terhadap realitas di sekitarnya.
"Penyair adalah yang juga menimbang pengetahuan, tidak semata-mata mengedepankan imajinasi dalam berproses membuat puisi," lanjut dosen Fakultas Ilmu Budaya tersebut.
Bercerita tentang ketidakhadiran Wahyu Prasetya dalam perhelatan sastra di Surabaya di satu masa, Yusri menekankan, bahwa sikap Wahyu Prasetya dalam menolak politisasi sastra menjadikannya sosok penyair yang kritis terhadap hegemoni.
"Tentu Wahyu Prasetya memiliki alasan tersendiri dalam sikapnya."
Selain orasi kesusasteraan, gelaran acara tersebut juga menghadirkan beberapa sastrawan muda untuk memberikan testimoni dan pembacaan puisi.
Ajmal, misalnya. Melalui testimoninya, ia menyampaikan bahwa semesta puisi Wahyu Prasetya memiliki kedekatan dengan realitas kehidupan anak muda saat ini.
Pegiat Komunitas Gelap Terang tersebut juga menjelaskan, berkaitan dengan kesadaran dan respon Wahyu Prasetya atas kehidupan modern melalui puisi-puisinya.
"Melihat isu-isu saat ini. Misalkan masalah tambang; Wahyu Prasetya juga menulis tentang tambang," ucap Ajmal "inilah yang dipraktikan Wahyu, kesadaran sebagai individu."
Selain testimoni dan pembacaan puisi, helatan acara tersebut juga terasa semakin akrab tatkala hadir penampilan musik dari Sanggar Aksara, Cak Bagus Eksperimental, dan Kak Fei di tengah-tengah audiens.
Acara tersebut pun berlangsung hangat, dan berhasil menghadirkan kembali sensasi puitis melalui memoar terhadap sang penyair ikonik Kota Malang, Wahyu Prasetya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mengenang Wahyu Prasetya, Memoar Puisi dan Perjalanan Penyair Bohemian Asal Malang
Pewarta | : Nihrul Bahy Muhammad (Magang MBKM) |
Editor | : Ronny Wicaksono |