TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Hilmy Muhammad mengkritik pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam Rapat Paripurna ke-15 masa persidangan 2024-2025 DPR RI. Ia menilai RUU ini tidak hanya mengancam demokrasi dan reformasi militer, tetapi juga berpotensi merugikan pembangunan daerah dengan mengaburkan batas antara peran militer dan sipil.
"RUU TNI ini bukan hanya langkah mundur bagi demokrasi, tetapi juga dapat menghambat pembangunan daerah dengan menempatkan aktor militer dalam pemerintahan sipil. Kebijakan yang seharusnya berbasis kebutuhan masyarakat bisa berubah menjadi lebih berorientasi pada pendekatan keamanan," ujar Gus Hilmy Kamis (20/3/2025).
Senator asal DIY ini menyoroti pasal dalam RUU TNI yang memungkinkan perwira aktif TNI menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil, termasuk di pemerintahan daerah. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.
"Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan berkompetisi dengan sipil dalam pemerintahan. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kebijakan daerah akan lebih dikendalikan oleh kepentingan militer daripada kebutuhan masyarakat," kata Katib Syuriyah PBNU tersebut.
Gus Hilmy menilai tidak ada urgensi bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan. Jika alasan utama adalah penguatan nasionalisme, ia menekankan bahwa solusinya adalah melalui pembinaan wawasan kebangsaan, bukan dengan menempatkan TNI dalam pemerintahan sipil.
"Keadaan dalam negeri aman, kebijakan luar negeri kita non-blok, lalu apa yang ditakutkan? Jika yang dikhawatirkan adalah soal nasionalisme, maka solusinya adalah memperkuat wawasan kebangsaan, bukan wajib militer atau memberi ruang bagi TNI dalam pemerintahan," tegasnya
Ia juga mengingatkan bahwa masuknya militer dalam pemerintahan bertentangan dengan amanat reformasi 1998, yang bertujuan memisahkan militer dari politik dan pemerintahan. RUU ini, menurutnya, berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwifungsi ABRI yang pernah menjadi masalah besar di masa lalu.
“Jika RUU ini diterapkan, bukan tidak mungkin kebijakan daerah akan lebih banyak dipengaruhi pendekatan militer daripada kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini seperti mengembalikan jarum sejarah ke masa Orde Baru. Anggaran negara bisa lebih banyak tersedot untuk kebijakan berbasis pertahanan dan keamanan, sementara rakyat kecil menjadi pihak yang dirugikan," ujarnya.
Meski demikian, Gus Hilmy mengajak masyarakat, akademisi, organisasi sipil, dan para tokoh bangsa untuk mengawasi implementasi UU TNI agar tidak merusak demokrasi dan menghambat pembangunan daerah.
"Kita harus mencermati bagaimana UU ini akan diterapkan dan memastikan tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan," pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: RUU TNI Disahkan, Anggota DPD RI: Ancaman bagi Demokrasi dan Pembangunan Daerah
Pewarta | : Edy Setyawan |
Editor | : Deasy Mayasari |