TIMES JOGJA, BANTUL – Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Bantul, A Haryo Ismudjihardjo menyoroti kebijakan pemerintah terkait kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen.
Ia mempertanyakan apakah keputusan tersebut telah mempertimbangkan kondisi riil perekonomian, daya beli masyarakat, inflasi, dan kemampuan perusahaan saat ini.
“Kalau kenaikan UMP wajar dan sesuai kondisi ekonomi, tentu tidak masalah. Namun, apakah keputusan Presiden mematok kenaikan 6,5 persen sudah memperhitungkan faktor seperti inflasi, daya beli, dan pertumbuhan ekonomi di daerah?” ujar Haryo, Senin (2/12/2024).
Menurut Haryo, penentuan UMP seharusnya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023, yang menjadi dasar perhitungan upah minimum.
PP ini menetapkan formula penentuan UMP dengan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi ketenagakerjaan di daerah. Rumus tersebut diharapkan dapat mencerminkan situasi ekonomi secara objektif.
PP 51/2023 juga mengatur bahwa penentuan UMP melibatkan Dewan Pengupahan, yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Proses ini bertujuan untuk memastikan kebijakan upah minimum sesuai dengan kemampuan ekonomi daerah dan tidak memberatkan dunia usaha maupun pekerja.
“Misalnya di Yogyakarta, pertumbuhan ekonomi dan inflasi dihitung, kemudian dikaitkan dengan produktivitas. Rumus itu menghasilkan angka yang lebih objektif. Tapi sekarang, pemerintah pusat langsung mematok angka 6,5 persen tanpa penjelasan yang jelas. Ini yang kami pertanyakan,” tambahnya.
Haryo menegaskan bahwa kebijakan kenaikan UMP perlu melibatkan masukan dari seluruh pihak terkait agar seimbang antara kepentingan pengusaha dan kesejahteraan pekerja. (*)
Pewarta | : Edy Setyawan |
Editor | : Ronny Wicaksono |