TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pemilu semestinya menjadi panggung rakyat untuk menentukan arah bangsa. Namun, harapan itu bisa runtuh ketika aparat negara yang seharusnya netral turut bermain dalam kontestasi. Fenomena ini kian menguat di tahun Pemilu 2024 lalu, dan menjadi ancaman senyap bagi demokrasi Indonesia.
Secara normatif, Indonesia memiliki kerangka hukum yang kokoh. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, serta PP Nomor 94 Tahun 2021 secara tegas melarang keterlibatan ASN dalam aktivitas politik praktis.
Hal yang sama berlaku bagi TNI, Polri, KPU, Bawaslu, hingga kepala desa. Semua diharuskan menjaga netralitas, bukan menjadi perpanjangan kekuasaan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap prinsip ini bukanlah isu kecil. Berdasarkan laporan Komisi ASN (KASN) per 2 April 2024, tercatat 481 ASN dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas.
Dari jumlah tersebut, 264 ASN (54,9 persen) terbukti melanggar, dan 181 ASN (71,6 persen dari yang melanggar) sudah dijatuhi sanksi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Ini menunjukkan bahwa hampir separuh laporan dugaan memang benar terjadi, dan hanya sebagian yang benar-benar ditindaklanjuti.
Masalah ini juga bukan hal baru. Pada Pilkada Serentak 2020, jumlah laporan pelanggaran netralitas ASN bahkan jauh lebih besar: 2.034 kasus.
Dari jumlah itu, 1.597 ASN (78,5 persen) terbukti melanggar, dan 1.450 ASN (90,8 persen) telah dijatuhi sanksi. Artinya, masalah ini bersifat struktural dan berulang, bukan sekadar kelalaian individu.
Distorsi Demokrasi
Secara teoritis, keterlibatan aparat negara dalam pemilu adalah bentuk distorsi demokrasi, karena mengganggu keotentikan pilihan politik warga. Demokrasi hanya bermakna ketika rakyat bebas menentukan pilihan tanpa tekanan, manipulasi, atau pengaruh struktural.
Dalam kerangka teori demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas, keabsahan keputusan politik bergantung pada diskusi rasional yang terbuka dan setara. Ketika aparat negara yang memiliki kekuasaan administratif, anggaran, bahkan simbolik ikut mendorong atau memihak calon tertentu, maka ruang deliberasi itu tercemar. Warga tidak berdebat karena argumen, tetapi tunduk karena tekanan.
Fenomena ini juga mencerminkan clientelism politik, di mana dukungan birokrat ditukar dengan posisi, proyek, atau jaminan politik. Birokrasi kehilangan otonomi profesionalnya dan berubah menjadi alat transaksi kekuasaan. Representasi politik yang seharusnya lahir dari suara rakyat, digantikan oleh skenario elite yang direkayasa melalui jaringan struktur negara.
Meski sanksi sudah tersedia seperti pemotongan tunjangan, penurunan jabatan, bahkan pemecatan sesuai PP 94/2021. Masih ada kesenjangan besar antara jumlah pelanggaran dan penegakan hukumnya.
Banyak pelanggaran netralitas ASN tidak ditindak tegas oleh otoritas yang berwenang, sehingga menciptakan preseden buruk dalam tata kelola birokrasi dan memperlemah semangat profesionalisme aparatur negara.
Salah satu contoh nyata pelanggaran netralitas ASN yang mencolok terjadi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Kepala Dinas Sosial Pinrang, Sulawesi Selatan, M Rusli terbukti melakukan pelanggaran netralitas ASN buntut memberi dukungan kepada anak Bupati Pinrang Irwan Hamid, Andi Azizah Irma yang maju sebagai caleg DPRD Sulsel 2024. Namun KASN memutuskan pelanggaran yang dilakukan Rusli masuk kategori ringan. Hal ini melemahkan efek jera dan memperburuk iklim birokrasi yang profesional.
Menjaga Netralitas, Menjaga Demokrasi
Langkah pembenahan harus dimulai dari penegakan sanksi yang tegas, termasuk terhadap pejabat tinggi. Kekuatan masyarakat sipil dan media juga perlu dilibatkan dalam pengawasan. Pendidikan netralitas dan etika publik harus diperkuat dalam kultur birokrasi, bukan sekadar slogan.
Netralitas birokrasi bukan hanya soal moralitas, tapi fondasi kepercayaan publik terhadap negara. Bila aparat terus menjadi alat kekuasaan, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan maknanya, terlihat merdeka, tapi dikendalikan dari balik meja birokrasi. Demokrasi tidak dibunuh oleh musuh, tetapi dikhianati oleh tangan sendiri.(*)
***
*) Oleh : Fahrizal Afriansyah, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |