TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Di balik kesunyian Kalurahan Caturharjo, Kapanewon Pandak, tersimpan sebuah revolusi hijau yang dimulai dari pekarangan rumah warga. Gerakan “Olah Sampah Coro Simbah” atau metode pengolahan sampah ala nenek moyang dengan cara membuat lubang tanah (jugangan), telah membuktikan bahwa solusi masalah sampah bisa datang dari langkah sederhana namun konsisten.
Dimulai sejak tahun 2020, Kalurahan Caturharjo menggagas Gerakan 5.000 Jugangan sebagai bentuk nyata adaptasi kearifan lokal. Alih-alih menunggu teknologi canggih, warga memilih kembali ke akar tradisi: mengembalikan sampah organik langsung ke bumi melalui lubang-lubang kecil yang dibuat di pekarangan rumah masing-masing.
Menurut Lurah Caturharjo, Wasdiyanto, pendekatan ini telah menjadi kunci utama suksesnya pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Dengan semangat gotong royong dan kemandirian, para kader sampah lokal berhasil menekan volume sampah organik rumah tangga tanpa harus mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA).
“Metode Coro Simbah ini sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Sampah organik habis diolah di rumah, bahkan bisa jadi kompos untuk tanaman. Ini bukan sekadar gerakan lingkungan, tapi budaya baru di Caturharjo,” terang Wasdiyanto dalam acara Panen Jugangan yang digelar Selasa (8/7/2025).
Yang lebih menarik, jugangan tak hanya menyelesaikan masalah, tapi juga membuka jalan menuju peluang ekonomi baru. Kompos yang dihasilkan dari lubang jugangan kini mulai dilirik untuk dikembangkan sebagai unit usaha Badan Usaha Milik Kalurahan (BumKal).
“InsyaAllah, kalau ini dikelola profesional, jugangan bisa menjadi sumber pendapatan desa. Kompos ini bisa kita kemas dan jual sebagai media tanam berkualitas,” tambah Wasdiyanto penuh optimisme.
Dukungan Pemerintah: 375.000 Jugangan, 70% Sampah Hilang
Gerakan lokal ini rupanya tak luput dari perhatian pemerintah kabupaten. Wakil Bupati Bantul, Aris Suharyanta, yang hadir dalam acara tersebut menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya.
“Kalau semua dari 75 kalurahan di Bantul mengikuti jejak Caturharjo dengan membuat 5.000 jugangan, kita akan punya 375.000 lubang pengolah sampah. Dan itu bisa menyelesaikan 70% persoalan sampah di kabupaten,” ujar Aris disambut tepuk tangan warga.
Tak hanya menyoal sampah, Aris juga menyoroti bagaimana pengelolaan lingkungan berpengaruh besar pada kesehatan masyarakat. Ia mengungkapkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan usia harapan hidup warga Bantul saat ini tertinggi di seluruh DIY.
“Lingkungan bersih berarti masyarakat sehat. Ini semua berawal dari kesadaran dan aksi nyata seperti yang dilakukan di Caturharjo,” tegas Aris.
Netizen Terkesan: Simpel tapi Cerdas
Gerakan Jugangan ini pun mulai viral di media sosial. Banyak netizen yang memuji gerakan tersebut sebagai inovasi yang layak ditiru daerah lain.
“Ini baru keren! Solusi sederhana, ramah lingkungan, dan gak nunggu bantuan pemerintah pusat. Indonesia butuh lebih banyak Caturharjo,” tulis akun @hijauindonesia.
Apa yang dilakukan Kalurahan Caturharjo bukan sekadar praktik lingkungan hidup. Ini adalah contoh nyata revolusi dari desa. Dengan semangat lokal, tradisi leluhur, dan semangat gotong royong, mereka berhasil menjawab tantangan zaman.
Jika desa lain mengadopsi gerakan ini, bukan tak mungkin Indonesia akan bebas dari krisis sampah—dimulai dari lubang kecil di halaman rumah. (*)
Pewarta | : Soni Haryono |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |