https://jogja.times.co.id/
Opini

Menanti Kebangkitan NU yang Ketiga

Senin, 27 Oktober 2025 - 16:42
Menanti Kebangkitan NU yang Ketiga Achmad Zuhri, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengurus IKA PMII DIY dan Waketum PP PERGUNU.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 31 Januari 1926 dan kini, menjelang genap satu abad usianya, organisasi para ulama ini kembali dihadapkan pada tantangan zaman yang berbeda. Secara hijriah, NU telah melewati satu abad kiprahnya dan memasuki abad kedua. 

Seratus tahun perjalanan panjang itu telah mengantarkan NU menjadi saksi dari gelombang sejarah bangsa: dari penjajahan, kemerdekaan, hingga reformasi. Namun pada abad keduanya ini, NU berhadapan dengan tantangan baru: krisis moral, kemunduran keteladanan, dan kegamangan arah di tengah perubahan sosial yang begitu cepat.

Nahdlatul Ulama bukan sekadar organisasi, melainkan semangat kebangkitan umat yang digerakkan oleh para ulama dan pada saat yang sama, kebangkitan para ulama itu sendiri. Ia lahir bukan dari ruang kosong, tetapi dari akumulasi panjang pergulatan pemikiran dan peristiwa sejak awal abad ke-20, saat umat Islam menghadapi modernitas dan kolonialisme yang mengguncang tatanan lama.

Kiai Wahab Chasbullah menjadi motor penggerak gagasan itu. Ia berjuang hampir sepuluh tahun lamanya sebelum akhirnya memperoleh restu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. 

Gagasan yang semula masih berupa cita-cita untuk menyatukan para ulama dalam wadah perjuangan itu akhirnya menemukan momentumnya melalui Komite Hijaz pada 31 Januari 1926. Dari sinilah lahir NU organisasi yang kelak menjadi wadah besar bagi kebangkitan Islam nusantara, sekaligus penopang utama perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah NU kemudian bergerak dalam tiga babak kebangkitan besar, yang masing-masing lahir dari konteks zaman yang berbeda.

Kebangkitan di Era Perjuangan Kemerdekaan

Kebangkitan pertama NU adalah kebangkitan menuju kemerdekaan bangsa. Saat itu, para ulama sadar bahwa penjajahan bukan sekadar penindasan politik, tetapi juga bentuk kemerosotan moral dan keadilan. 

Kiai Abdul Chalim, dalam perdebatan di masa awal pendirian NU, sudah menyuarakan gagasan tentang kemerdekaan bangsa dan ide itu diamini oleh Kiai Wahab Chasbullah dan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.

NU lahir bukan hanya untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi juga untuk membebaskan manusia dari penindasan. Karena itu, ketika republik ini diproklamasikan, para kiai pesantren tidak tinggal diam. 

Mereka memanggil umat untuk mempertahankan tanah air. Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi puncak manifestasi spiritual dan politik NU: jihad untuk kemerdekaan. Seruan itu menyalakan bara perjuangan rakyat dalam pertempuran mempertahankan kedaulatan bangsa.

Di masa-masa awal republik, NU ikut aktif mengisi kemerdekaan. Penerimaan terhadap Pancasila adalah wujud kearifan para ulama: bahwa nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kebangsaan dapat berjalan beriringan. Kiai-kiai NU juga berperan dalam pemerintahan, legislatif, dan lembaga-lembaga publik, ikut mewarnai arah pembangunan bangsa.

Namun dalam perjalanan berikutnya, NU memasuki ranah politik praktis. Sejak 1952, NU berdiri sebagai partai politik dan menjadi salah satu kekuatan utama di parlemen. Tetapi seiring perubahan rezim dan lahirnya Orde Baru, peran itu mulai terpinggirkan. 

Pengekerdilan organisasi dan tekanan politik membuat NU kehilangan sebagian marwahnya. Di sinilah babak pertama kebangkitan berakhir sebuah masa ketika perjuangan spiritual harus berhadapan dengan kerasnya realitas politik.

Kebangkitan Gus Dur dan Supremasi Kemanusiaan

Kebangkitan kedua NU datang bersama sosok KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Ia bukan hanya tokoh besar NU, tetapi juga pembaru yang mengembalikan jati diri NU pada khittahnya. Di tengah cengkeraman Orde Baru, Gus Dur menyalakan kembali api kebebasan berpikir di lingkungan pesantren.

Melalui kepemimpinannya, NU menemukan arah baru: membangun kekuatan masyarakat sipil (civil society) dari akar rumput. Gus Dur menanamkan gagasan besar bahwa agama harus membebaskan, bukan menakuti; harus menghidupkan, bukan menguasai. Ia menolak politik kekuasaan yang menindas, dan mengembalikan NU ke politik kebangsaan dan kerakyatan.

Keputusan Muktamar Situbondo 1984 menjadi tonggak sejarah kebangkitan kedua: NU kembali ke Khittah 1926. Dari sana, NU menjadi organisasi sosial-keagamaan yang memihak rakyat tanpa terjebak dalam politik praktis. 

Gerakan sosial dan kebudayaan menjadi orientasi baru, dan Gus Dur memperkenalkan wajah Islam yang inklusif, ramah, serta berakar pada tradisi kemanusiaan universal.

Gus Dur tidak hanya memulihkan marwah NU, tetapi juga melahirkan generasi santri baru yang modern, terbuka, dan berpikir global. Dari rahim pesantren, lahir kader-kader NU yang menekuni sains, teknologi, politik, ekonomi, dan seni, tanpa meninggalkan akar keislamannya.

Ketika Orde Baru tumbang, Gus Dur naik menjadi Presiden RI. Puncak kebangkitan kedua itu menandai supremasi sipil di atas militer. Namun jalan Gus Dur tidak mudah: kekuasaan dijatuhkan melalui konspirasi politik. Meski begitu, nilai-nilai yang ia tanam tetap hidup.

Gus Dur dan sahabat-sahabat seangkatannya Gus Mus, KH Sahal Mahfudz, KH Ali Maksum, KH Ilyas Rukhiyat, A. Baghja, Slamet Effendy Yusuf, Abdullah Syarwani, Khofifah Indar Parawansa, Aisyah Hamid, dan banyak lainnya dikenal sebagai generasi pembaharu yang menjaga martabat kemanusiaan dan pluralisme. Dari tangan mereka, lahir kesadaran baru bahwa agama tidak cukup hanya dijalankan, tetapi juga harus dimanusiakan.

Menciptakan Jalan dan Keteladanan

Kini, NU memasuki abad keduanya secara hijriah, dan segera genap berusia satu abad secara masehi. Tetapi masa ini bukan masa yang mudah. Tantangan zaman berubah drastis: bukan lagi kolonialisme atau otoritarianisme, melainkan krisis moral dan banalitas era digital.

Revolusi teknologi telah menciptakan generasi serba cepat dan instan. Mereka hidup di tengah limpahan informasi, tetapi kekurangan kebijaksanaan. Generasi yang ingin hasil tanpa proses, popularitas tanpa pengorbanan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai lama seperti kejujuran, kesederhanaan, dan keikhlasan perlahan kehilangan pesonanya.

Kita hidup di zaman ketika politik berubah menjadi transaksi, dan demokrasi menjadi dagangan. Citra menggantikan makna, pencitraan menggantikan pengabdian. Agama pun sering dijadikan alat pembenaran, bukan pencerahan.

Dalam pusaran ini, NU pun tak luput dari ujian. Organisasi yang dulu menjadi payung moral kini sering diseret ke dalam pusaran politik. Seruan ulama tak lagi sepenuhnya mampu menenangkan publik yang lelah oleh gaduhnya kehidupan sosial dan politik. Bahkan PBNU yang beralamat di Jalan Kramat Raya seolah kehilangan “keramat” dalam makna simboliknya.

Situasi ini menandakan bahwa kita sedang berada pada masa jeda sejarah masa menunggu datangnya kebangkitan yang ketiga. Sebuah kebangkitan yang tidak lagi bergantung pada sosok, tetapi pada kesadaran kolektif.

Kebangkitan ketiga itu harus lahir dari bawah: dari pesantren-pesantren kecil, dari serambi kiai kampung, dari guru-guru yang tulus mendidik, dari anak-anak muda yang menolak menyerah pada arus pragmatisme. 

Ia bukan kebangkitan organisasi semata, melainkan kebangkitan nilai dan nurani. Dan siapa aktornya? Kita semua. Para santri, para pemuda, para guru, para kiai, para pencinta bangsa yang masih percaya bahwa nilai lebih utama daripada kuasa.

Mungkin benar, NU hari ini sedang tidak baik-baik saja. Tetapi sejarah membuktikan, setiap kali bangsa ini kehilangan arah, kebangkitan selalu dimulai dari rahim NU. Karena di situlah sumber cahaya itu tak pernah benar-benar padam hanya menunggu waktu untuk kembali menyala.

***

*) Oleh : Achmad Zuhri, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengurus IKA PMII DIY dan Waketum PP PERGUNU.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.