https://jogja.times.co.id/
Opini

Masalah Sampah hingga Rantai Nilai Ekonomi

Selasa, 04 November 2025 - 14:44
Masalah Sampah hingga Rantai Nilai Ekonomi Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Narasi dominan tentang sampah di Indonesia masih berkutat pada volume dan bencana. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK yang mencatat 68,7 juta ton timbulan sampah sepanjang 2023 seolah hanya menegaskan citra TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang sekarat dan kota yang terancam tenggelam dalam limbahnya sendiri.

Kita terfiksasi pada paradigma usang: Kumpul, Angkut, Buang. Sebuah model linear yang tidak hanya memakan porsi besar APBD untuk ongkos angkut dan lahan TPA, tetapi juga mengabaikan dua fakta krusial. 

Pertama, sampah adalah bahan baku industri. Kedua, sebuah "ekonomi" sudah lama berjalan di atas tumpukan itu, meski seringkali terabaikan.

Di tengah kebuntuan pengelolaan sampah, kita melupakan mereka yang sudah puluhan tahun membuktikan bahwa sampah memiliki nilai: sektor informal.

Sebelum istilah "ekonomi sirkular" populer di ruang seminar, para pemulung dan pengepul telah menjadi mesin daur ulang pertama dan paling efisien di negeri ini. Mereka adalah pahlawan lini pertama yang memilah, mengumpulkan, dan menyalurkan material berharga (PET, kardus, logam) kembali ke rantai industri.

Ironisnya, setiap kali solusi modern ditawarkan, baik itu investasi Waste-to-Energy (WtE) maupun modernisasi TPA, kelompok ini nyaris selalu terancam. Posisi mereka rentan tergusur oleh mesin dan korporasi. Padahal, tanpa mereka, rantai daur ulang formal akan gagap.

Kesalahan fundamental kita adalah melihat sampah hanya sebagai masalah teknis atau lingkungan, dan melupakan dimensi sosialnya. Kita lupa bahwa "sumber uang" ini adalah sumber penghidupan bagi jutaan orang. Oleh karena itu, solusi apa pun harus dimulai dari integrasi, bukan disrupsi, terhadap rantai nilai yang sudah ada ini.

Menata Ulang Rantai Nilai

Potensi ekonomi sampah memang nyata, namun tidak seragam. Kita harus berhenti menggeneralisasi "sampah anorganik" sebagai komoditas tunggal.

Pertama, material bernilai tinggi. Plastik PET, HDPE, kardus, dan logam adalah "emas" yang sudah memiliki pasar. Tantangannya di sini adalah efisiensi. Pemilahan di sumber (rumah tangga), yang didukung oleh inisiatif akar rumput seperti Bank Sampah, adalah kunci untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas material ini. 

Pemerintah tidak perlu membuat rantai baru, tetapi memperkuat rantai yang ada dengan memberi insentif pada Bank Sampah dan memformalkan peran sektor informal.

Kedua, material bernilai rendah dan residu. Ini adalah masalah utamanya. Sampah plastik multilayer (saset) dan kantong kresek adalah polutan terbesar karena tidak laku di lapak pengepul. 

Di sinilah teknologi dan kebijakan makro berperan. Teknologi seperti Refuse-Derived Fuel (RDF) untuk mengubah residu ini menjadi bahan bakar alternatif industri (seperti semen) adalah solusi hilir yang vital.

Ketiga, sampah organik. Dengan komposisi separuh dari total sampah kita, mengolahnya di TPA adalah kejahatan ekologis (penghasil metana). Ini adalah bahan baku kompos, pakan maggot BSF, dan biogas. Pengelolaannya harus didesentralisasi di tingkat kawasan atau bahkan rumah tangga, bukan diangkut puluhan kilometer.

Jebakan "business as usual" saat ini adalah investasi besar pada teknologi hilir (WtE atau RDF) tanpa membenahi hulunya. Fasilitas RDF akan mangkrak jika pasokan sampah residunya masih tercampur sampah organik yang basah. Pembakaran sampah di insinerator menjadi tidak efisien jika material berharga (yang seharusnya didaur ulang) ikut terbakar.

Pemerintah, melalui regulasi Extended Producer Responsibility (EPR) yang tegas, harus "memaksa" produsen untuk ikut bertanggung jawab atas sampah kemasannya, terutama saset. Ini akan mendorong inovasi desain kemasan atau subsidi untuk pengumpulan kembali sampah low-value.

Orkestrasi terpenting adalah di lapangan. Pemerintah daerah harus menjadi fasilitator yang menghubungkan titik-titik yang ada: memberdayakan RT/RW dan Bank Sampah untuk pemilahan, memformalkan dan melindungi pemulung sebagai mitra strategis pengumpulan, dan menjamin pasokan material terpilah ini kepada industri daur ulang (untuk high-value) dan industri pengolah residu (untuk low-value).

Mengubah sampah menjadi uang bukanlah sekadar membangun pabrik pengolah sampah yang canggih. Ia adalah tentang membangun sistem yang adil, yang menghargai setiap kilogram sampah terpilah dari rumah tangga, dan menghargai setiap tetes keringat pemulung di jalanan. 

Tanpa integrasi sosial, "sumber uang" ini hanya akan menjadi komoditas bagi segelintir investor besar, sambil menyingkirkan mereka yang paling berjasa.

***

*) Oleh : Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.