https://jogja.times.co.id/
Opini

Empati dan Kemiskinan Struktural

Senin, 20 Oktober 2025 - 17:45
Empati dan Kemiskinan Struktural Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Dalam setiap perbincangan tentang kemiskinan, sering kali kita terjebak pada cara pandang yang sempit bahwa miskin adalah akibat dari kemalasan, rendahnya pendidikan, atau kegagalan individu mengelola hidupnya. 

Padahal, di balik angka-angka statistik kemiskinan yang terus diperbarui setiap tahun, tersimpan struktur sosial dan kebijakan ekonomi yang membentuk serta mewariskan kemiskinan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Di sinilah pentingnya empati, bukan sekadar rasa iba, tetapi kemampuan memahami secara mendalam mengapa kemiskinan bisa bertahan dalam sistem yang seharusnya menjanjikan kesejahteraan.

Empati menjadi jembatan antara logika kebijakan dan realitas lapangan. Sering kali, kebijakan penanggulangan kemiskinan lahir dari ruang rapat yang dingin dan penuh angka, sementara kemiskinan nyata berlangsung di gang sempit, di ladang kering, dan di rumah-rumah tanpa listrik. 

Mereka yang hidup di sana tidak butuh belas kasihan, tetapi pengakuan atas jerih payah dan struktur yang menahan langkah mereka. Ketika empati hadir dalam kebijakan publik, arah pembangunan bergeser dari sekadar menurunkan angka statistik menuju pemulihan martabat manusia.

Kemiskinan struktural tidak lahir dari ketiadaan usaha individu, melainkan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya. Tanah yang dikuasai segelintir orang, lapangan kerja yang terbatas, pendidikan berkualitas yang hanya bisa dibeli oleh sebagian kecil masyarakat, semua itu menciptakan dinding tak terlihat antara si kaya dan si miskin. 

Di pedesaan, petani yang bekerja keras sepanjang tahun sering kali tetap hidup dalam ketidakpastian karena harga komoditas yang tidak berpihak. Di perkotaan, buruh dan pekerja informal berjuang melawan upah rendah dan biaya hidup yang kian tinggi. Struktur ini membuat kemiskinan menjadi sistemik: sulit dilawan oleh individu, meski dengan kerja keras dan niat baik.

Empati mengajarkan kita untuk tidak menghakimi. Ia memaksa kita melihat bahwa kemiskinan bukan soal pilihan, melainkan kondisi yang dibentuk oleh kebijakan dan relasi kuasa. Di sinilah peran negara menjadi sangat penting. 

Negara tidak cukup hanya menyalurkan bantuan sosial atau menggelar program karitatif sesaat, tetapi harus memperbaiki akar struktural yang menyebabkan kemiskinan bertahan: ketimpangan ekonomi, lemahnya jaminan sosial, dan kebijakan pembangunan yang tidak merata.

Kita membutuhkan empati di ruang-ruang pengambilan keputusan. Empati yang membuat pejabat publik menunda pencitraan untuk mendengar cerita warga yang kehilangan mata pencaharian. Empati yang mendorong pengusaha mengubah sistem kerja agar lebih adil bagi buruh. 

Empati yang menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan bukan sekadar hasil kompetisi, tetapi buah dari keadilan sosial. Dengan empati, kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai “beban negara”, melainkan panggilan moral untuk memperbaiki sistem yang timpang.

Namun empati saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan keberanian politik. Banyak kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil berhenti di tataran wacana karena berbenturan dengan kepentingan ekonomi besar. 

Di sinilah ujian terbesar moral bangsa: apakah kita berani membongkar struktur yang timpang demi keadilan yang lebih luas? Keberanian itu tidak harus selalu datang dari puncak kekuasaan. Ia bisa lahir dari gerakan sosial, komunitas warga, atau bahkan individu yang memilih berpihak pada yang lemah.

Dalam konteks Indonesia hari ini, empati seharusnya menjadi arah dalam membangun ekonomi kerakyatan. Pemerintah yang benar-benar berempati akan memastikan kebijakan fiskal berpihak pada kelompok rentan, bukan hanya pada korporasi besar. 

Ia akan memperkuat jaminan sosial, membuka akses pendidikan dan kesehatan yang setara, serta menata ulang distribusi sumber daya alam agar tidak dikuasai segelintir elit. Empati dalam kebijakan berarti menempatkan manusia, bukan angka, sebagai pusat pembangunan.

Empati bukanlah kelemahan dalam bernegara, melainkan kekuatan yang menuntun kita menuju kemanusiaan. Tanpa empati, kita mudah menyalahkan yang miskin; dengan empati, kita belajar melihat ketidakadilan yang membuat mereka miskin. 

Kemiskinan struktural hanya bisa dihapus jika empati menjadi landasan moral dan politik setiap kebijakan publik. Sebab, ketika negara mampu melihat rakyat miskinnya bukan sebagai angka, melainkan sebagai manusia dengan harapan dan martabat, di sanalah keadilan sosial benar-benar mulai bekerja.

***

*) Oleh : Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.