TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Dalam dunia investasi saham, euforia dan kejatuhan adalah dua sisi mata uang yang selalu berdampingan. Selama pandemi 2020–2021, bursa saham Amerika-terutama sektor teknologi menjadi panggung pertunjukan luar biasa. Banyak saham naik ratusan persen, hanya untuk kemudian tergelincir tajam ketika stimulus ekonomi mereda dan suku bunga mulai naik.
Salah satu yang menarik perhatian adalah saham Sea Limited (SE), perusahaan asal Singapura yang banyak beroperasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia melalui lini e-commerce Shopee. Saham ini sempat melambung hingga menyentuh US$338 di awal 2021, namun kemudian jatuh ke titik nadir US$36 pada akhir 2023-sebuah penurunan dramatis hampir 90%.
Namun yang menarik, dalam setahun terakhir SE justru mulai memantul kembali. Seorang investor yang mengikuti saham ini sejak lama membeli SE di harga rata-rata US$63, dan kini melihat sahamnya melonjak ke angka US$165 per Mei 2025 kenaikan fantastis 165%. Pertanyaannya: apakah ini pertanda pemulihan jangka panjang, atau justru pantulan semu (dead cat bounce) sebelum koreksi selanjutnya?
Saat saham SE mencapai puncaknya di tahun 2021, valuasinya memang tampak melambung tinggi. Berdasarkan perhitungan konservatif, nilai intrinsiknya kala itu hanya sekitar US$187, sementara harga pasarnya mencapai US$338—terlalu tinggi, bahkan jika kita mempertimbangkan pertumbuhan pendapatan dua kali lipat (110% YoY).
Setelah koreksi brutal, kini saham SE kembali berada di US$165. Namun, valuasi tetap menjadi perhatian. Dengan pertumbuhan pendapatan yang melambat menjadi sekitar 30,8% YoY pada kuartal ketiga 2024, nilai intrinsiknya diperkirakan hanya sekitar US$120–125. Artinya, saat ini SE tetap overvalued sekitar 37%, meski jauh lebih rendah dibanding puncaknya.
Jika dibandingkan dengan saham teknologi lainnya seperti PayPal (PYPL), Twilio (TWLO), atau Match Group (MTCH) yang semuanya juga anjlok puluhan persen dari puncak 2021-SE memang tampak lebih stabil. Price-to-sales ratio (P/S) SE kini di angka 5x, jauh dari 20x–25x yang pernah dialaminya, tapi masih lebih tinggi dari rata-rata sektor e-commerce regional.
Faktor risiko tidak berhenti pada valuasi. SE juga menghadapi potensi tekanan dari beberapa arah. Pertama, munculnya rumor investigasi oleh otoritas AS terkait Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), yang meski belum terbukti, sudah cukup mengguncang sentimen investor di media sosial.
Kedua, tekanan kompetitif dari pemain agresif seperti TikTok Shop dan Lazada yang merebut ceruk pasar Shopee secara langsung. Ketiga, ketidakpastian makroekonomi global—dari suku bunga tinggi di AS hingga kemungkinan resesi ringan di beberapa pasar utama.
Dalam kondisi seperti ini, koreksi kembali ke harga intrinsik sekitar US$120 bukan hal mustahil. Jika investor tersebut memegang sekitar 90 lembar saham, penurunan dari US$165 ke US$120 bisa memangkas nilai portofolionya sebesar US$4.050 hanya karena terlambat mengambil keputusan.
Berdasarkan kajian data dan dinamika pasar, strategi yang paling masuk akal bukanlah bertahan sepenuhnya, apalagi menjual semuanya secara panik. Dalam kasus investor ini, saran yang bijak adalah merealisasikan sebagian keuntungan.
Misalnya, jika ia menjual saham senilai US$10.000 dari total posisi saat ini, maka keuntungan sekitar US$6.500 sudah bisa diamankan. Sisanya tetap dibiarkan dalam portofolio sebagai peluang, jika skenario bullish benar-benar terjadi dan SE melanjutkan kenaikannya ke US$200 atau bahkan ke puncak lamanya US$338.
Namun, risiko koreksi tetap perlu diantisipasi. Salah satu strategi proteksi yang bisa diterapkan adalah menggunakan trailing stop-misalnya 15% di bawah harga pasar saat ini (sekitar US$140). Dengan ini, investor tidak kehilangan momentum kenaikan, tapi tetap terlindung jika pasar berubah arah secara tiba-tiba.
Investor yang bijak juga perlu mempertimbangkan opportunity cost. Jika dana hasil penjualan sebagian saham SE dialihkan ke saham lain yang sedang undervalued-misalnya MercadoLibre atau PDD Holdings, maka portofolio menjadi lebih seimbang, tidak terlalu tergantung pada satu aset yang volatil.
Diversifikasi bukan soal banyaknya saham, tapi soal distribusi risiko dan peluang. Jangan sampai kita terlalu jatuh cinta pada satu saham hanya karena ia pernah memberi "kemenangan besar".
Saham seperti SE memang menarik. Ia adalah contoh klasik bagaimana pasar bisa memberi hadiah besar bagi yang berani, tapi juga menghukum mereka yang terlalu serakah atau terlena.
Bagi investor yang telah mendapat keuntungan besar, saatnya menimbang ulang: apakah ini saatnya mengunci keuntungan, atau berjudi demi potensi yang belum pasti? Pasar tidak pernah salah, tapi investor bisa terlambat mengambil keputusan.
Dalam dunia investasi, langkah terbaik tak selalu soal beli atau jual. Kadang, keputusan paling bijak justru hadir dari keberanian untuk tidak terburu-buru. Pasar mungkin tak pernah salah, tapi waktu tak selalu berpihak pada mereka yang ragu.
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |