https://jogja.times.co.id/
Opini

Petani dan Ilusi Keadilan Teknologi

Senin, 20 Oktober 2025 - 06:37
Petani dan Ilusi Keadilan Teknologi Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan populasi muda yang besar. Namun, di balik potensi itu tersimpan ironi yang mengancam kedaulatan pangan di masa depan, yaitu krisis regenerasi petani. 

Data Sensus Pertanian BPS 2023 menyalakan alarm keras bahwa sekitar 80% petani Indonesia kini berusia di atas 40 tahun, sementara partisipasi Generasi Z di sektor ini hanya sekitar 2,14%. 

Ironisnya, kelompok usia muda (15–29 tahun) justru mendominasi angka pengangguran nasional. Artinya, sektor yang paling membutuhkan tenaga kerja produktif justru ditinggalkan oleh generasi yang paling potensial.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah melalui Bappenas dan Kemenpora telah meluncurkan berbagai inisiatif progresif. Program Petani Keren Kemenpora-FAO serta dorongan Smart Precision Agriculture dari Bappenas menjadi angin segar bagi sektor pertanian. 

Langkah ini akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada transfer teknologi. Keberhasilan regenerasi petani tidak bergantung pada kecanggihan drone pertanian, melainkan pada kemampuan kebijakan fiskal dan pasar dalam menjamin keadilan harga serta akses terhadap lahan.

Profesi petani selama ini masih dibayangi stigma “kotor, kuno, dan miskin.” Program Smart Precision Agriculture merupakan upaya konkret untuk menepis stigma “kuno” dan “kotor” itu. 

Pemanfaatan sensor, IoT, hingga drone untuk pemupukan dan penanaman benih seperti yang telah diterapkan di Subang, Jawa Barat, menjadi simbol transformasi menuju pertanian modern dan efisien.

Bappenas menargetkan peningkatan produktivitas padi dari rata-rata 10 ton per hektare menjadi 14 ton per hektare melalui penerapan teknologi presisi. Harapannya, peningkatan hasil panen dan profesionalisme pengelolaan ini akan menarik minat generasi muda untuk kembali bertani. 

Di saat yang sama, Kemenpora dan FAO berperan dalam membangun kapasitas wirausaha tani, sedangkan Bappenas memberikan dukungan teknologi dan produktivitas.

Di sinilah letak persoalan utamanya: teknologi hanyalah alat untuk meningkatkan produktivitas, bukan profitabilitas. Seorang petani muda bisa saja mencapai hasil 14 ton per hektare, tetapi jika harga gabah jatuh di bawah biaya produksi, kerugian tetap tak terhindarkan.

Tantangan utama bagi petani milenial bukan sekadar cara mengoperasikan drone, melainkan tiga hal mendasar yang kerap diabaikan: akses lahan, akses modal, dan keadilan harga jual.

Pertama, akses lahan. Lahan produktif kini semakin sempit, terfragmentasi, dan mahal, sering kali dimiliki korporasi besar atau petani berusia lanjut. Petani muda, meski memiliki keterampilan dan pengetahuan teknologi, kesulitan untuk menjadi pemilik lahan. 

Tanpa kebijakan afirmatif berupa skema sewa jangka panjang atau sertifikasi lahan yang lebih mudah, mereka hanya akan menjadi pekerja upahan di lahan yang seharusnya bisa mereka kelola sendiri.

Kedua, akses modal. Pertanian modern membutuhkan investasi besar mulai dari bibit unggul, pupuk presisi, hingga perangkat teknologi. Sayangnya, banyak petani muda terkendala minimnya agunan dan birokrasi perbankan yang berbelit dalam pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Diperlukan skema pembiayaan berbasis proyek dan risiko (bukan agunan semata) agar modal dapat mengalir ke wirausaha tani yang inovatif.

Ketiga, keadilan harga jual. Ini adalah titik krusial. Petani muda yang berinvestasi dalam teknologi presisi menanggung biaya operasional tinggi. Peningkatan produktivitas sebesar 40% dari 10 menjadi 14 ton per hectare akan sia-sia tanpa intervensi pemerintah terhadap harga jual. 

Fluktuasi harga saat panen raya sering membuat petani merugi. Karena itu, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) perlu dirancang secara adil dan adaptif, tidak hanya mencegah kerugian tetapi juga menjamin margin keuntungan yang menarik bagi petani modern.

Aspek struktural terakhir terletak pada pentingnya membangun kemitraan yang inklusif di sepanjang rantai pasok. Program seperti Generasi Petani Muda untuk Negeri (GenAgri) menunjukkan langkah awal yang positif dalam arah tersebut. 

Namun, tanggung jawab utama pemerintah melalui Bappenas dan Kemenpora adalah memastikan bahwa kebijakan yang dirancang benar-benar mendorong petani milenial membangun ekosistem distribusi yang mandiri, bukan sekadar menjadi pemasok bahan mentah bagi pihak lain.

Kemitraan yang ideal harus memberikan ruang bagi petani muda untuk menjadi pemilik penuh atas hasil panennya, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang kuat di pasar dan memperoleh porsi yang adil dari nilai tambah (added value). Dengan demikian, mereka tidak lagi terjebak sebagai pelengkap dalam skema corporate farming yang cenderung dikuasai oleh konglomerasi pangan.

Regenerasi petani tidak akan berhasil hanya dengan pelatihan dan demonstrasi teknologi di sawah. Ujian sesungguhnya bagi program Smart Agriculture dan Petani Keren adalah seberapa banyak peserta yang tetap bertahan di sektor pertanian setelah pelatihan, serta bagaimana pendapatan mereka meningkat secara berkelanjutan.

Pemerintah harus memastikan bahwa kedaulatan pangan tidak dibangun di atas ketimpangan ekonomi. Jika pertanian menjadi profesi yang menjanjikan dan bermartabat, dengan perlindungan harga yang adil serta kemudahan akses terhadap lahan dan modal, generasi muda akan dengan sendirinya tertarik kembali ke sektor ini. Dengan begitu, krisis regenerasi petani bukan hanya dapat diakhiri, tetapi juga menjadi titik awal bagi kedaulatan pangan yang sejati. (*)

***

*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.