TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Dinamika sampah termasuk di DIY belum ada habisnya. DIY masih saja mengalami darurat sampah. Hal ini terjadi karena dalam satu hari saja masih saja ada persoalan masalah sampah. Baik itu sampah sisa makanan, limbah pengolahan makanan, dan limbah-limbah rumah tangga lainnya.
Menanggapi hal itu, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi dan Kesehatan Yogyakarta, Dra Prima Sari mengutarakan bahwa, perihal membuang sampah pada tempatnya terkait dengan pemahaman dan kebiasaan masyarakat.
Menurutnya, kebiasaan membuang sampah itu dapat terlihat tingkat kemajuan sebuah masyarakat.
“Ketika manajemen sampah masih belum berjalan, itu artinya masih banyak masalah dalam manajemen pemerintahan daerah itu sendiri. Untuk itu diperlukan contoh pemerintahan yang bersih. Kalau seseorang bekerja di lembaga pemerintah, berarti dia milik publik artinya harus benar-benar, menjadi pelayan publik,” terang Prima, Sabtu (16/12/2023).
Alumni Fakultas ilmu Budaya UGM itu menambahkan, sejak usia dini, anak-anak perlu diajarkan untuk membiasakan diri membuang sampah dengan benar. Membuat sampah pada tempatnya.
Karena itu, keberhasilan memisahkan sampah kering dan sampah basah seperti yang dilakukan di negara maju, bisa menjadi ukuran kesadaran lingkungan dan kemampuan untuk mematuhi peraturan. Jadi, orang yang bisa memisahkan sampah atau mematuhi peraturan, menjadi ukuran sifat modern atau kemajuan.
“Sebetulnya, pengelolaan sampah di DIY itu bisa diselesaikan sejak dulu, karena fasilitas, sarana, prasarana dan danaya ada. Adanya bank sampah di setiap Rukun Warga (RW) merupakan sebuah solusi tersendiri dalam manajemen sampah,” jelas Prima.
Prima menyampaikan, keseriusan Pemkot Yogyakarta menangani masalah sampah di Kota Yogyakarta terus diuji. Bahkan, Pemkot Yogyakarta telah mengeluarkan sanksi kepada para pelaku pelanggaran berkaitan dengan sampah yaitu denda Rp500 ribu kepada warga yang ketahuan membuang sampah sembarangan.
Sebaliknya, Pemkot Yogyakarta juga memberikan reward sebesar Rp100 ribu kepada warga yang melaporkan adanya orang yang membuang sampah sembarangan.
“Punishment and reward ini cukup berhasil diterapkan yang berbuntut pada makin bersih dan tertatanya. Aturan semacam ini bisa diterapkan di daerah lain. Selain mendidik masyarakat agar mengelola sampahnya dengan baik, juga untuk meningkatkan kebersihan lingkungan," pintanya.
Menurut Prima, masyarakat di DIY ini sudah pandai memilah sampah. Namun masalahnya yang belum berjalan dengan baik adalah support system nya, manajemen sampahnya yang end to end.
"Saya apresiasi ke.masyarakat DIY sudah bagus dalam memilah dibanding sebelumnya, namun sayangnya masalah yang belum selesai karena sampah yang sudah dipilah akhirnya tercampur lagi dalam bak truk pengangkut sampah. Ini yang sering terjadi," tandasnya.
Adapun soal iuran sampah, menurut Prima Sari hendaknya dibedakan antara rumah tangga dengan kedai atau kafe. Demikian pula, cara pembuangan limbah sisa makanan, penggunaan wadah makanan apakah mereka masih menggunakan wadah sekali pakai yang tidak bisa dihancurkan kembali seperti styroform dan sebagainya.
Hal-hal seperti inilah yang perlu menjadi perhatian, bahkan kalau perlu dibuatkan regulasi soal sampah.
“DIY kan terdiri dari empat kabupaten dan satu kota. Alangkah baiknya apabila di masing masing kabupaten kota itu terdapat kanal penampungan sampah sekaligus disediakan mesin incinerator. Mungkin hanya Kota Yogyakarta yang akan kesulitan dalam penentuan lokasi penampungan sampah yang sampai sekarang masih menggunakan TPA Piyungan. Selain itu banyaknya Perguruan Tinggi di DIY bekerja sama dengan swasta dan Pemerintah Daerah bisa membentuk gugus tugas melalui program CSR nya dalam pengelolaan dan penanganan masalah sampah,” terang Prima.
Prima berpesan, penerapan disiplin sampah tak kalah penting dan sebenarnya bisa dilakukan secara mandiri. Misalnya, dalam aktivitasnya setiap hari, usai makan atau minum dia mengelola sampahnya sendiri dan kemudian dibawa pulang, ditanam, atau dikelola dengan baik dengan cara didaur ulang secara sederhana.
“Seumpama saja setiap orang setiap hari peduli dengan sampahnya sendiri, sampah sisa atau pembungkus makanan dan minumannya sendiri. Maka disini akan muncul sebuah budaya, mengelola sampah yang mandiri dan tidak perlu memiliki peroalan sampah secara massal seperti yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta,” terang Prima. (*)
Pewarta | : Olivia Rianjani |
Editor | : Faizal R Arief |