TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai kebiasaan sejumlah kepala daerah yang lebih sering berada di Jakarta dibandingkan di wilayah yang dipimpin, berpotensi melemahkan kualitas pemerintahan daerah.
Praktik tersebut bukan hanya mencerminkan persoalan etika kepemimpinan, tetapi juga berdampak langsung pada efektivitas pelayanan publik dan pembangunan.
Guru Besar Manajemen Kebijakan Publik UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, menegaskan bahwa kehadiran kepala daerah di wilayahnya merupakan syarat penting untuk memahami persoalan riil masyarakat. Menurutnya, terlalu lama meninggalkan daerah membuat pemimpin kehilangan sensitivitas terhadap kebutuhan warga.
“Ketika kepala daerah lebih banyak berada di Jakarta, pemantauan pembangunan dan pelayanan publik di daerah menjadi tidak optimal. Banyak persoalan yang seharusnya diselesaikan di lapangan justru luput dari perhatian,” ujar Wahyudi, Rabu (31/12/2025).
Ia menjelaskan, alasan koordinasi dengan kementerian atau lembaga pusat seharusnya tidak menjadi pembenaran untuk meninggalkan daerah dalam waktu lama. Wahyudi menilai, dengan sistem pemerintahan yang ada saat ini, koordinasi dapat dilakukan melalui jalur institusional tanpa harus selalu hadir secara fisik di Jakarta.
Menurutnya, ketidakhadiran kepala daerah berdampak pada lambannya pengambilan keputusan dan berisiko melahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi lokal. “Pemimpin yang jarang turun ke lapangan akan sulit menangkap dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya,” katanya.
Wahyudi juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat terhadap aktivitas kepala daerah. Ia mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk lebih tegas memastikan kepala daerah menjalankan tugasnya secara penuh di wilayah masing-masing.
“Pengawasan perlu diperkuat agar kepala daerah tidak menjadikan Jakarta sebagai pusat aktivitas sehari-hari, sementara daerah justru kurang mendapatkan perhatian,” tegasnya.
Selain pengawasan, ia menekankan pentingnya peningkatan kesadaran politik masyarakat. Wahyudi menilai, pemilih perlu lebih kritis dalam menilai kinerja dan komitmen kehadiran calon kepala daerah.
“Masih ada kepala daerah yang jarang berada di daerahnya, namun tetap terpilih kembali. Ini menunjukkan perlunya edukasi politik agar masyarakat memilih pemimpin yang benar-benar bekerja dan hadir,” ujarnya.
Wahyudi menambahkan, jabatan kepala daerah adalah amanah publik yang dibiayai oleh uang rakyat. Karena itu, ia berharap para pemimpin daerah memiliki komitmen moral untuk mengutamakan pelayanan dan pembangunan di wilayahnya.
“Pemimpin daerah seharusnya hadir bersama masyarakat, mendengar langsung keluhan, dan memastikan pembangunan berjalan sesuai kebutuhan rakyat,” paparnya. (*)
| Pewarta | : A. Tulung |
| Editor | : Ronny Wicaksono |