https://jogja.times.co.id/
Opini

Yogyakarta dan Aksi Demonstrasi Damai

Selasa, 02 September 2025 - 21:32
Yogyakarta dan Aksi Demonstrasi Damai Fuandani Istiati, Dosen Ilmu Komunikasi UAD.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – 1 September 2025 agaknya menjadi sebuah titik tolak sejarah gerakan massa pasca tragedi 1998. Kemuakan-kemuakan yang tertimbun lama di benak masyarakat akan ketamakan para jajaran pejabat dan pemimpinnya. 

Kelompok yang selalu diagungkan menjadi wakil rakyat pun tidak pernah merepresentasikan cita-cita rakyatnya, melainkan selama ini hanya mewujudkan abisinya sendiri. Kesenjangan wakil rakyat dengan rakyatnya semakin jauh menimbulkan arogansi rakyat yang tak terbendung disulut oleh percikan komunikasi publik wakil rakyat yang buruk. 

Jika tunjangan selalu menjadi bahasan di rapat, lalu kapan rakyat dibahas? Bukan meredam, melainkan menambah amunisi kobaran api kemarahan dengan menyangkal bahwa hal tersebut sudah menjadi hak wajib bagi wakil rakyat.

Layaknya api yang disiram dengan bensin bukan air ketika kata ”tolol” terlontar yang dirasa melukai hati rakyat. Amarah tak terbendung ditengah carut marut kebijakan yang diluar nalar seperti pajak yang semakin tinggi ditambah tunjangan DPR yang melebihi batas normal pendapatan masyarakat. Maka meletuslah aksi di akhir bulan Agustus, bulan dimana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan. 

Di tahun 2025 Agustus tidak lagi seperti tahun-tahun yang lalu. Massa dari banyak kalangan turun menuntut hak mereka sebagai rakyat yang terdzolimi oleh parlemennya dan menyuarakan aspirasi mereka. Hingar-bingar perayaan kemerdekaan di istana merdeka seakan lenyap dimakan realita masyarakat yang belum seutuhnya merdeka.

Aksi tidak berhenti meski bulan Agustus berakhir. 1 September 2025 menjadi titik sejarah baru, seruan aksi di berbagai wilayah dan lini masyarakat terjadi. Berlangsung hampir di seluruh negeri ibu pertiwi. Aksi yang identik dengan anarki agaknya bukan menjadi identitas saat ini. Seruan aksi jelas, ”aksi damai” rakyat yang sudah mulai terliterasi memahami esensi dari aksi itu sendiri. 

Di Jogja, aksi benar-benar berlangsung khidmat dan damai, meski hari-hari sebelumnya Polda D. I. Yogyakarta menjadi titik incaran peserta aksi untuk diserang sampai akhirnya ngarso dalem (sebutan kepada sultan Yogyakarta) menghampiri para pelaku aksi tanpa satu pengawalan khusus. Aksi di malam itu pun berhasil di redam meski amukan dan amarah dalam bentuk kobaran api sempat tersulutkan.

Yogyakarta dengan segala budaya santunnya berhasil meghadirkan bentuk aksi yang teduh. Melalui forum Gejayan Memanggil dan Forum Cik Di Tiro aksi digelar di bundaran UGM. Mencari potensi risiko yang rendah agar pesan tersampaikan dengan baik adalah alasan kenapa kondisi aksi di Jogja pada tanggal 1 September berjalan dengan damai yang sebenar-benarnya. 

Tidak hanya di bundaran UGM, di pertigaan UIN pun tidak terjadi perusakan fasilitas umum apapun, hanya saja para peserta aksi yang sudah muak dengan partai politik mereka membakar bendera-bendera partai yang berkibar di area jalan Solo. Hal ini pun disambut baik warga Jogja yang sudah jengah dengan keberadaan bendera-bendera partai yang menjadi sampah visual di jalanan. 

Lebih menarik lagi, di depan kantor DPRD Yogyakarta yang berada di jalan Malioboro. Aksi yang dihadiri langsung oleh ketua DPRD dan jajarannya secara langsung. Sehingga komunikasi dari massa dan aspirasi mereka terserap secara langsung oleh wakil rakyat dan segera ditindaklanjuti melalui mekanisme parti masing-masing. 

”Nol anarkisme dan nol vandalisme”, kalimat yang dapat merepresentasikan aksi damai kota nan nyaman Yogyakarta. Warisan budaya sepanjang jalan Malioboro pun masih terjaga dengan rapi, meski keluhan pedagang kaki lima muncul karena hari itu mereka terpaksa harus menutup lapak bahkan toko mereka.

Bantul yang juga menjadi bagian dari Yogyakarta pun tak berbeda kondisinya. Aksi demo yang dihelat didepan kantor DPRD nya pun hari ini tidak menyisakan bentuk kerusakan apapun. Orang-orang kembali menggunakan jalan untuk bersekolah dan bekerja dengan nyaman kembali tanpa ketakutan yang menyertai. 

Itulah harapan aksi demo yang selayaknya terjadi di negeri ini. Masyarakat menyampaikan protes dan aspirasinya, pejabat parlemen sebagai wakil rakyat di pemerintahan menyambut hangat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Aparat bertindak sesuai SOP nya, segala lini masyarakatnya memegang teguh budaya dan adat sopan santunya. 

Wakil rakyatnya tidak bersembunyi atau WFH, melainkan melayani dan menyuarakan apa yang menjadi harapan dari rakyatnya. Itulah sejatinya kondisi demonstrasi yang diharapkan di negeri ini, meski bayangan tunjangan fantastis pejabatnya yang masih menghantui. 

***

*) Oleh : Fuandani Istiati, Dosen Ilmu Komunikasi UAD.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.