https://jogja.times.co.id/
Opini

Ketika Beasiswa Hanya Memilih STEM

Sabtu, 09 Agustus 2025 - 15:17
Ketika Beasiswa Hanya Memilih STEM Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Di banyak kampus, berita tentang arah baru beasiswa LPDP cepat menyebar: mulai tahun depan, pilihan jurusan akan lebih diarahkan pada bidang STEM, sains, teknologi, teknik, dan matematika, untuk mendukung industri strategis. 

Alasan ini masuk akal; dunia bergerak cepat dan negara perlu menyiapkan tenaga ahli di bidang yang menopang daya saing. Namun, di balik logika itu, ada pertanyaan yang mengendap: jika kita hanya menenun masa depan dengan benang STEM, bagaimana dengan helai-helai humaniora, seni, dan budaya yang memberi warna dan makna?

Dalam budaya Papua, noken, tas anyaman serat, kuat bukan karena satu jenis serat, melainkan karena banyak helai yang saling mengikat. Pendidikan bangsa pun demikian. 

STEM adalah serat yang kokoh, tetapi humaniora adalah serat yang membuat anyaman itu lentur dan berguna untuk berbagai keperluan. Hilangkan salah satunya, dan anyaman mudah koyak.

Tidak ada yang menampik pentingnya STEM. Tanpa insinyur, jembatan tak akan berdiri. Tanpa ilmuwan, inovasi kesehatan akan lambat. Tetapi pepatah Minang mengingatkan, “alam takambang jadi guru” kehidupan yang utuh butuh lebih dari sekadar hitungan dan rumus. Ia juga butuh pemahaman, empati, dan imajinasi yang sering tumbuh subur di ranah sastra, sejarah, filsafat, dan pendidikan.

Jika ruang beasiswa hanya terbuka lebar bagi STEM, ada risiko yang sulit dihindari: generasi yang unggul secara teknis, tetapi canggung memahami keragaman manusia. 

Seperti pepatah Bugis, “narekko tettongeng ri lino, iya nasaba lempuk” berdiri tegak di dunia memerlukan akar yang kuat. Akar itu tak hanya pengetahuan, tetapi juga nilai yang dibentuk oleh humaniora.

Kita belajar dari sejarah bahwa kemerdekaan dan kemajuan tidak lahir dari satu disiplin saja. Pidato Bung Karno yang membakar semangat, puisi Chairil Anwar yang menggetarkan, atau filosofi Ki Hajar Dewantara yang membimbing pendidikan, semua lahir dari ranah nilai, bahasa, dan kebudayaan. Tanpa itu, ilmu dan teknologi berisiko menjadi alat tanpa arah, seperti kapal besar yang berlayar tanpa kompas.

Orang Dayak mengenal ungkapan “panyugu” penyangga hidup. STEM bisa menjadi penyangga material, tetapi penyangga kehidupan yang sesungguhnya juga datang dari seni, moral, dan kearifan lokal. 

Di tengah krisis lingkungan, misalnya, teknologi dapat menawarkan solusi, tetapi nilai dan budaya menentukan apakah solusi itu bijak atau sekadar cepat.

Negeri yang terlalu menonjolkan STEM berpotensi menjadi “pintar kepala, lemah hati”. Gedung-gedung pintar mungkin berdiri megah, satelit mungkin mengorbit, tetapi di jalanan, senyum bisa jarang ditemukan. Di dunia kerja, efisiensi mungkin menjadi ukuran utama, sementara kepedulian dianggap tambahan yang tak wajib.

Padahal, bukan pilihan antara STEM atau humaniora yang kita butuhkan, melainkan keterpaduannya. Seorang arsitek yang memahami budaya lokal akan merancang bangunan yang tidak hanya indah dan kokoh, tetapi juga menyatu dengan lingkungan. Seorang ahli data yang peka sastra akan membaca angka sebagai kisah manusia, bukan sekadar deretan statistik.

Kebijakan beasiswa adalah investasi jangka panjang. Arah yang diambil hari ini akan membentuk wajah bangsa beberapa dekade mendatang.

Jika semua diarahkan ke STEM, kita mungkin unggul di laboratorium, tetapi rapuh di ruang-ruang pertemuan masyarakat. Kita mungkin menguasai kode mesin, tetapi kehilangan bahasa hati.

Orang Toraja berkata, “Lembangna to, pesunna banua” baiknya manusia adalah keindahan dunia. Keindahan itu lahir ketika kemajuan teknologi berjalan seiring dengan keluhuran budi, ketika inovasi disertai empati, dan ketika kecanggihan otak tak meninggalkan kehangatan hati.

Menenun masa depan bangsa adalah pekerjaan yang rumit. Setiap helai, entah itu STEM atau humaniora, punya peran dalam kekuatan dan keindahan anyaman. 

Jangan sampai kita membanggakan hasil tenunan yang cepat selesai, tetapi rapuh dan tak mampu menampung beban kehidupan. Karena ketika satu helai terlepas, seluruh anyaman bisa ikut runtuh.

***

*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.