TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Jika DPR RI benar-benar dibubarkan, kita tidak sedang berbicara tentang sekadar penggusuran gedung atau pergantian wajah politik, melainkan sebuah titik balik konstitusional dan komunikatif yang memaksa bangsa ini menghadapi dua persoalan sekaligus: legitimasi lembaga dan kapasitas negara untuk berfungsi tanpa mekanisme legislatif yang mapan.
Polemik yang memuncak belakangan terkait rencana kenaikan tunjangan, khususnya usulan tunjangan perumahan senilai puluhan juta rupiah per anggota, telah menjadi pemicu sentimen publik yang meluap menjadi tuntutan “bubarkan DPR”.
Informasi dan reaksi massa bergerak cepat di ruang publik: aksi unjuk rasa besar di depan Kompleks DPR berujung bentrokan dengan aparat, penggunaan gas air mata, dan penangkapan, ini adalah gambaran nyata bahwa persoalan ini sudah melampaui sekadar perselisihan anggaran menjadi krisis kepercayaan publik.
Di luar kemarahan riil warga, rincian teknis yang memicu gelombang ini perlu ditempatkan secara kontekstual: laporan pemberian tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR, serta paket tunjangan lain yang secara kumulatif menaikkan pendapatan parlemen, menjadi bahan bakar opini publik bahwa elit politik terputus dari realitas ekonomi.
Kabar tentang tunjangan perumahan dan mekanisme pembayaran yang diperdebatkan viral dan menjelma menjadi simbol ketidakadilan. Pernyataan politikus yang merasionalisasi angka tersebut, misalnya dengan argumen soal kelayakan hunian dinas, tidak meredam kemarahan, karena framing publik menempatkan isu ini dalam narasi prioritas rakyat versus kepentingan elite.
Secara konstitusional, skenario “pembubaran” oleh eksekutif tidaklah sederhana: UUD 1945 dan amandemennya tidak memberi presiden kewenangan membubarkan DPR. Mekanisme legal untuk mengubah komposisi lembaga legislatif pada dasarnya adalah melalui proses politik yang mapan, pemilu, atau perubahan aturan yang disepakati bersama, bukan dekret eksekutif yang sepihak.
Klaim dan wacana publik yang menyerukan pembubaran seringkali mengabaikan batasan konstitusional ini, sehingga tuntutan massa berpotensi memaksa solusi di luar jalur legal yang berisiko merusak tata kelola demokrasi.
Empati terhadap kemarahan publik harus dirangkaikan dengan analisis institusional: jika DPR dibubarkan secara paksa atau melalui jalan di luar konstitusi, konsekuensi praktisnya segera terlihat.
Fungsi legislasi seperti pembuatan undang-undang, penganggaran, dan pengawasan adalah penopang rutinitas pemerintahan yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Tanpa DPR yang berfungsi, proses pengesahan anggaran, pengawasan birokrasi, dan legitimasi kebijakan signifikan akan mengalami kekosongan.
Pemerintah dapat berupaya mengoperasikan negara melalui regulasi pemerintah pengganti undang-undang atau kebijakan administratif, tetapi instrumen semacam itu rentan dianggap tidak legitimitif dan mudah dipolitisasi; lama-lama, pemerintahan tanpa parlemen berisiko memasuki zona otoritarianisme de facto yang memanfaatkan keadaan darurat untuk memperkuat kekuasaan eksekutif.
Risiko ini bukan sekadar hipotetis: ketika saluran representatif diputus, tekanan politik cenderung bergeser ke jalanan, aktor non-institusional, atau bahkan kekuatan militer dan keamanan sebagai penengah konflik. Pernyataan pakar hukum yang muncul di ruang publik mengingatkan bahwa jalan di luar konstitusi untuk “membubarkan” DPR akan membuka krisis legitimasi yang lebih luas.
Dari perspektif komunikasi politik, dinamika ini bisa dianalisis melalui beberapa kerangka teoretis. Pertama, teori agenda-setting menunjukkan bagaimana berita tentang tunjangan dan gaji tinggi menetapkan prioritas publik: media dan jejaring sosial memfokuskan perhatian pada isu distribusi sumber daya sehingga memicu tuntutan reformasi langsung ke legislatif.
Kedua, teori framing menggarisbawahi bahwa cara aktor politik menjelaskan dan membingkai kenaikan tunjangan, misalnya sebagai kebutuhan administratif atau kompensasi layak, hal ini menentukan apakah publik menerima atau menolak narasi tersebut.
Ketiga, konsep spiral of silence menjelaskan mengapa hanya sebagian suara yang terdengar: ketika mayoritas merasa kecewa namun tidak melihat saluran efektif untuk perubahan, suara protes yang berani muncul dan kemudian dominan di ruang publik, sementara suara moderat tertutup karena takut kehilangan legitimasi sosial.
Keempat, teori Habermas tentang public sphere menegaskan bahwa legitimasi politik bergantung pada kualitas diskursus deliberatif; ketika deliberasi digantikan oleh kemarahan yang dipicu oleh framing simplistik, solusi substantif sulit dicapai.
Jika tujuan kita adalah memperbaiki legitimitas institusi tanpa menempuh jalan ekstrakonstitusional, ada beberapa implikasi praktis. Pertama, DPR perlu mengakui krisis komunikasi: transparansi penuh soal angka, alasan, dan struktur tunjangan harus disampaikan dalam bahasa yang dapat dipahami publik.
Di sini komunikasi publik yang efektif bukan sekadar memindahkan angka, tetapi membangun narasi pemulihan kepercayaan melalui dialog; menggunakan mekanisme hearing terbuka, keterlibatan media independen, dan komunikasi yang responsif terhadap data sosial-ekonomi.
Kedua, perbaikan prosedural (misalnya audit independen terhadap tunjangan, pembatasan kenaikan berbasis indeks daya beli, atau peninjauan peraturan internal) penting untuk mengubah persepsi bahwa kebijakan dibuat untuk kepentingan sempit.
Ketiga, pembaruan politik jangka panjang harus mengembalikan ruang deliberasi publik: penguatan komisi pengawasan, mekanisme partisipasi warga, dan reformasi etika parlemen.
Namun, perubahan komunikasi saja tidak cukup. Menyembuhkan legitimasi memerlukan perubahan struktural dan simbolik: simbol keadilan distributif (seperti komitmen untuk restrukturisasi anggaran yang memprioritaskan perlindungan sosial) dan tindakan akuntabilitas nyata (misalnya sanksi bagi penyalahgunaan fasilitas) akan lebih efektif ketimbang pernyataan permintaan maaf.
Komunikasi yang cerdas harus diiringi kebijakan yang konkret; sebaliknya, kebijakan yang baik tanpa komunikasi yang tepat akan tetap gagal meredam kemarahan publik.
Pertanyaan tentang pembubaran DPR lebih dari sekadar apakah sebuah lembaga harus dihapus; ini soal bagaimana masyarakat dan institusi berbicara satu sama lain ketika kepercayaan retak.
Jalan keluarnya bukanlah memaksakan hancurnya mekanisme representatif, melainkan mereformasi dan merelegitimasi melalui proses yang konstitusional, komunikatif, dan partisipatif.
Jika tidak, pembubaran yang tampak sebagai solusi instan justru akan meninggalkan luka yang dalam: kekosongan hukum, delegitimasi jangka panjang, dan ruang publik yang lebih terpolarisasi; hasil yang lebih berbahaya bagi rakyat daripada tunjangan yang sebenar-benarnya bisa direvisi oleh politik yang transparan dan akuntabel. (*)
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |