TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Setiap November tiba, kita meghadapi ritus yang sama: upacara, doa, dan bendera yang dikibarkan dalam ritual peringatan. Orang-orang pun bergegas mengingat kembali nama-nama, peristiwa yang terperangkap dalam arsip sejarah. Kita kembali membuka buku-buku, sembari menyingkirkan debu-debu layaknya mengusir hantu yang merayap di rak perpustakaan.
Kita barangkali lupa, kapan debu itu menjadi hantu, dan kapan tepatnya hantu itu mengisi sampul dan halaman buku. Tapi hantu-hantu itu selalu ada, tiba-tiba hadir, sebagai tubuh-tubuh yang tak lagi memiliki suara.
Terlempar dari kisah panjang sejarah, tetapi selalu hadir kembali sebagai yang tak diinginkan. Lantas kita menyambut hari pahlawan; memilih ingatan sekaligus ingin melupakan hantu-hantu yang berceceran.
Demikianlah, sejarah kita ditulis di antara kebanggaan dan ketakutan, antara kepahlawanan sekaligus luka masa silam. Negara memilih nama-nama untuk dikenang, namun di saat yang sama, menepikan serpisah cerita yang ingin selalu dihapus; pembantaian 1965, kerusuhan kemanusiaan Mei 1998, dan sederet tragedi lainnya.
Dari peristiwa itu, hantu-hantu kemudian muncul sebagai ingatan bagi mayat-mayat yang dibuang dan seseorang yang mati tanpa tubuh, tanpa nisan.
Maka, hantu-hantu ini selalu ada sebagai debu yang tak bisa seutuhkan disisihkan. Selalu ada sebagai ritus paling pahit dalam sejarah, sebagai doa yang lupa dipanjatkan ketika bendera begitu khusyuk dikibarkan.
Malaikat Sejarah di Hadapan Trauma dan Reruntuhan Kisah
Retakan kisah itu kemudian hadir sebagai trauma dan ketakutan. Lalu bangsa kita, berusaha mengenang para pahlawan sembari menutup mata dengan telapak tangan. Khawatir yang tak seharusnya dilihat justru keluar di hadapan wajah.
Sementara untuk menyingkirkan kesakitan itu, kita berjalan sembari mencatat serangkaian kemenangan. Berharap tak satupun kehilangan akan datang di hadapan perjalanan panjang sejarah.
Sayangnya, sebagaimana catatan Marianne Hirsch dalam The Generation of Postmemory (2012), trauma itu tak akan mudah dilupakan. Sebab, rasa sakit selalu rentan diwariskan. Dalam anasir demikian, ingatan akan ditransmisikan secara familial postmemory, semacam rasa sakit yang dituturkan dari generasi tua ke generasi berikutnya di dalam keluarga.
Di sisi lain, trauma itu kian menguat tatkala masa lalu terperangkap dalam afillial objek, gambar, dokumen dan bentuk lainnya, bak mural pembantaian dan kehilangan yang abadi di sepanjang tembok perkotaan.
Walter Benjamin memiliki anasir yang segar untuk menggambarkan bagaimana ingatan bekerja. Melalui metafor ‘angel of history’, kita dihadirkan suatu representasi bahwa ingatan tak akan melihat segala sesuatu hanya sebagai kemenangan, seperti halnya malaikat itu, justru memori sering kali mudah dihantui oleh sejarah sebagai tumpukan reruntuhan.
Namun, kenyataan memaksa manusia untuk terus bergerak ke depan. Sebagaimana catatannya dalam On The Concept of History (1940), malaikat itu ingin berhenti dan menyembuhkan yang sakit. Tapi arus peradaban terus mendorongnya agar tetap bergerak.
Maka ritus berulang mulai tercipta. Kita membangun monumen, menulis kembali cerita heroik, berdoa di depan batu nisan pahlawan, namun tanpa sekalipun menanggalkan debu dan puing-puing yang berserakan di belakang kita.
Tragedi 65, kerusuhan Mei 1998, dan tubuh-tubuh yang tak pernah ditemukan, hanyalah beberapa kisah sejarah yang belum selesai. Kita menulis kalimat panjang, menceritakan narasi kepahlawanan yang mengisi seluruh halaman buku. Menanggalkan nama-nama orang ysng dibunuh tanpa pengadilan, lalu dihapus dari catatan.
Narasi Pahlawan yang Represif, Tapi Hantu Terus Kembali
Seperti pendapat Hirsch, bahwa tumbuh bersama warisan yang kuat berisiko memiliki kisah hidup yang dipindahkan, bahkan dievakuasi oleh nenek moyang kepada kita. Begitulah kedua cerita itu berdesakan, berebut tempat dalam tumpukan arsip dan rak buku.
Di titik ini, narasi pahlawan terperangkap dalam situasi paradoksal. Di satu sisi, kisah itu menginspirasi. Di bagian yang lain, ia berupaya menghapus. Dengan narasi horoisme demikian, negara berupaya menutupi kenangan kelam dari mereka yang tak layak diingat.
Kisah itu tak hanya bergerak dalam ritus penghargaan, namun juga bertindak represif. Meski demikian, sebagaimana perspektif psikoanalisis Freudian, ingatan yang dilesapkan, suatu waktu dapat keluar dari alam bawah sadar. Maka saat itulah, ia menjadi hantu-hantu sejarah yang datang, mengisi ceruk-ceruk ingatan kolektif bangsa.
Pada Jacques Derrida, barangkali kita dapat belajar. Bahwa konsekuensi bagi hidup berarti bersiap untuk dihantui. Kita selalu terperangkap dalam jaring masa lalu yang tak terlihat dan tak berwujud dari ‘Yang Lain’.
Istilah Derrida hauntology, pertama kali diciptakan dalam Spectres of Marx pada tahun 1993, yang mempertanyakan apa yang bergerak terus-menerus di antara ada dan tidak ada, keberadaan dan kematian.
Lalu, hauntology, berupaya mengeksplorasi keberadaan masa lalu, khususnya ideologi dan peristiwa yang terus membentuk masa kini meskipun ‘tidak terlihat’. Maka, hauntology menjadi cara untuk memahami dampak abadi sejarah dan ideologi; kita hidup di dalamnya.
Dihantui oleh nama-nama yang tak hadir sebagai tubuh. Tapi mereka dalam peristiwa pembantaian yang tak disebut dalam buku sejarah tak pernah benar-benar hilang. Mereka menjadi debu, lalu menjelma hantu yang mengisi spasi dalam kalimat dan jeda paragraf.
Taruh misalnya, dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita sering dibacakan suatu kisah pemberontakan. Lalu diikuti kemunculan para pahlawan, menjadi aktor-aktor penyelamat dari kehancuran ideologi negara.
Kisah itu melegitimasi sejarah yang tidak tuntas, tanpa sempat menceritakan ratusan ribu orang lain yang sempat disiksa, diasingkan, hingga mayat-mayat yang dibuang tanpa proses hukum dan pengadilan.
Demikian juga, tragedi Mei 98 mengajarkan kepada kita, bahwa trauma muncul dari perempuan-perempuan yang diperkosa, mahasiswa yang tertembak peluru, dan sederet tubuh-tubuh yang tak lagi ditemukan. Semuanya terjadi begitu cepat hingga tak ada pelaku yang pernah benar-benar diadili.
Mereka adalah bagian dari masa silam dan ketika negara diam, mereka menjelma hantu-hantu yang merayap di sekujur arsip sejarah.
Menyambut Hantu-Hantu, Menyembuhkan Luka
Kita perlu untuk berbicara dari sudut pandang orang yang dihantui, yang memberikan keadilan. Sebagaimana ucapan Derrida, ‘memberikan tanggung jawab, di hadapan hantu-hantu, baik mereka korban perang, kekerasan politik atau jenis kekerasan lainnya, nasionalis, rasis, kolonialis, seksis, atau jenis pemusnahan lainnya, korban penindasan imperialisme kapitalis atau bentuk totalitarianisme apa pun’.
Maka, memberi kesempatan hantu-hantu itu untuk hidup kembali, adalah cara lain untuk menulis kembali serpihan-serpihan yang dilupakan. Hari ini mereka ‘ada’ bukan lagi sebagai entitas wujud, tapi sebagai sesuatu yang dibicarakan dan ditambahkan dalam jeda paragraf yang mengisi karya sastra, film, atau serpihan-serpihan tulisan yang mencari jalan lain untuk bersuara.
Demikian kita juga perlu menyebut nama-nama lain yang tersisih ketika upacara digelar dan doa bersama dirapalkan. Sebab heroisme hari ini bukan lagi soal mengangkat senjata, melainkan menatap luka itu sendiri.
Bukankah Spectres of Marx memberitahu kita, masa depan akan tegap hanya ketika kita dapat memberi tempat bagi hantu-hantu masa lalu; bukan sebagai trauma dan ketakutan, melainkan sebagai sesuatu yang pernah ada, dan mengisi halaman buku yang sama dengan narasi heroisme para pahlawan bangsa.
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |