TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk isu nasional yang silih berganti, perhatian publik sempat tertambat pada sebuah cerita yang berasal dari jantung budaya Jawa: Keraton Kasunanan Surakarta. Di balik dinding-dinding tinggi dan bangsal-bangsal tua yang menyimpan ratusan tahun sejarah, keraton itu kini bagaikan rumah megah yang retaknya tampak dari jauh.
Perebutan tahta yang seharusnya menjadi urusan sakral dan penuh tata nilai justru berubah menjadi panggung konflik yang memecah masyarakat, memudarkan wibawa, dan mengguncang identitas budaya.
Keraton Solo, yang dahulu menjadi poros peradaban Jawa, kini diliputi perselisihan yang berlarut-larut antara dua pihak yang sama-sama mengklaim legitimasi sebagai pewaris sah. Sejak munculnya dualisme kepemimpinan antara PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan, suasana di dalam keraton tidak lagi semeriah perayaan adat yang biasanya digelar.
Tembok keraton yang biasanya berdiri anggun kini memantulkan gema ketegangan: pintu gerbang yang saling diperebutkan, upacara adat yang terhambat, dan aset budaya yang dipersoalkan. Dalam suasana itu, masyarakat sekitar seakan menyaksikan sebuah babak panjang drama keluarga bangsawan namun dengan konsekuensi nyata bagi kehidupan mereka.
Pedagang yang biasanya mengandalkan keramaian wisata harus menerima kenyataan bahwa konflik membuat pengunjung enggan datang. Perajin batik, pemandu wisata, hingga para abdi dalem yang setia menjaga tradisi, merasakan langsung getirnya keraton yang tak lagi solid.
Fenomena ini bukan milik Keraton Solo saja. Di Cirebon, poros kekuasaan terbelah menjadi beberapa kubu, membuat keraton di sana seakan kehilangan keutuhan fisiknya karena minimnya perhatian. Di Yogyakarta, perdebatan panjang soal suksesi mengguncang tradisi yang selama berabad-abad tak tersentuh. Bahkan di Ternate dan Kutai, perpecahan keluarga kerajaan bukan lagi hal asing.
Semua ini seakan menggambarkan bahwa keraton-keraton di Indonesia tengah bergulat dengan dilema yang sama: mempertahankan tradisi di tengah perubahan zaman yang tak menunggu. Jika melihat sejarahnya, keraton memang tidak lagi memegang kekuasaan politik seperti pada masa kejayaannya.
Setelah masa kolonial, tugas keraton berubah menjadi penjaga budaya dan simbol kehormatan. Namun perubahan ini tidak serta-merta diikuti penyesuaian internal.
Pergulatan mengenai siapa yang paling berhak memegang tampuk kepemimpinan sering kali muncul bukan karena soal tata negara, tetapi soal harga diri keluarga, legitimasi garis keturunan, dan makna budaya yang melekat pada gelar-gelar kebangsawanan.
Dalam konteks sejarah panjang Mataram, perebutan tahta sebenarnya bukanlah anomali, melainkan pola yang berulang sejak abad ke-17 ketika kekuasaan kerajaan mulai melemah akibat campur tangan kolonial dan fragmentasi trah.
Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, serta Perjanjian Salatiga (1757) yang melahirkan Mangkunegaran, membentuk struktur politik yang sejak awal rentan menumbuhkan dualisme legitimitas.
Dinamika ini diperparah oleh konsep psikologis Jawa seperti wahyu keprabon gagasan bahwa kepemimpinan ditentukan bukan hanya oleh garis keturunan, tetapi oleh “restu kosmik” yang diyakini bisa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Karena itu, suksesi keraton tidak sekadar urusan administratif, tetapi menjadi arena tafsir spiritual, prestige keluarga, dan narasi historis yang saling bersaing.
Dengan memahami akar panjang ini, konflik Keraton Solo tidak lagi terlihat sebagai drama pribadi, melainkan gejala dari konstruksi historis-politik yang memang sejak awal penuh ketegangan
Jika menengok berbagai monarki di dunia, tampak jelas bahwa keberlanjutan institusi budaya hanya mungkin terjaga melalui modernisasi tata kelola.
Kekaisaran Jepang, misalnya, mempertahankan wibawanya justru karena berhasil memisahkan ranah simbolik dari urusan politik praktis, sekaligus menjalankan administrasi kerajaan lewat lembaga birokrasi modern yang transparan.
Inggris memperkuat stabilitas monarki melalui pembaruan konstitusional dan sistem akuntabilitas publik yang ketat, sementara Thailand mengalami gejolak justru ketika batas antara simbol budaya dan kepentingan politik tak lagi jelas.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa keraton (termasuk Keraton Solo) tidak dapat bertahan hanya dengan mengandalkan legitimasi tradisi; ia membutuhkan sistem manajemen yang adaptif, terukur, dan terbuka agar mampu berfungsi sebagai institusi budaya yang dihormati di era modern.
Dengan melihat praktik terbaik monarki lain, kita dapat memahami bahwa pelestarian tradisi tidak bertentangan dengan modernisasi, justru bergantung padanya.
Dalam tradisi Jawa, suksesi tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan, tetapi juga oleh kesiapan batin dan restu sosial yang mengiringinya. Seorang calon pemimpin keraton diharapkan memiliki lesan kinarya (kematangan mental, ketenangan roso, serta kemampuan menjaga harmoni keluarga besar) karena kepemimpinan Jawa dipandang sebagai tugas menjaga keseimbangan, bukan sekadar memegang kuasa.
Restu keluarga besar menjadi faktor penting karena legitimasi budaya tidak pernah berdiri sendiri tanpa penerimaan kolektif trah, sedangkan restu simbolik yang dikenal sebagai wahyu padhang diyakini menentukan “cahaya kepemimpinan” seseorang.
Ketika salah satu unsur ini terabaikan, konflik mudah muncul karena proses suksesi kehilangan landasan spiritual dan sosialnya, membuat perebutan tahta berubah menjadi persaingan personal yang jauh dari nilai luhur budaya Jawa.
Dalam perspektif psikologi budaya, perebutan tahta bukan sekadar “siapa yang duduk di singgasana”, melainkan siapa yang memiliki hak untuk menjadi penjaga identitas keluarga besar, warisan leluhur, dan simbol-simbol sakral kerajaan.
Di sinilah konflik kerap membara: antara saudara kandung, antara generasi tua dan muda, antara tafsir tradisi dan ambisi pribadi. Sementara itu, masyarakat luas melihat konflik ini seperti menyaksikan sandiwara yang ironis.
Keraton yang seharusnya menjadi teladan harmoni justru memamerkan perpecahan. Generasi muda yang tengah mencari jati diri budaya pun bisa merasa jauh dari institusi yang tampak rapuh. Bagaimana mereka bisa bangga pada tradisi jika institusi tradisinya sendiri sedang kehilangan arah?
Namun harus diingat bahwa keraton bukan sekadar keluarga bangsawan. Ia adalah sistem sosial yang berhubungan langsung dengan hajat hidup banyak orang. Ketika ia berkonflik, ekonomi lokal melemah. Kegiatan budaya berhenti. Wisata sejarah berkurang. Dan yang paling mengkhawatirkan: rasa hormat publik pada budaya leluhur ikut memudar.
Di tengah situasi seperti ini, peran negara dan masyarakat menjadi krusial. Keraton membutuhkan tata kelola baru yang lebih modern, transparan, dan profesional tanpa menghilangkan nilai-nilai adatnya. Sebuah badan pengelola independen, yang melibatkan pihak keluarga, pemerintah daerah, dan para budayawan, dapat menjadi jembatan yang menjaga agar aset budaya tetap terpelihara dan tidak menjadi korban perselisihan internal.
Selain itu, mediasi berbasis budaya perlu dihidupkan kembali. Konflik keraton tidak bisa diselesaikan hanya melalui meja hukum, ia membutuhkan dialog, pertemuan hati, dan muatan simbolik yang menghormati tradisi Jawa.
Digitalisasi arsip, revitalisasi bangunan, hingga inovasi wisata budaya dapat menjadi langkah modern untuk memulihkan wajah keraton dan menjadikannya kembali pusat kebudayaan yang relevan, bukan sekadar monumen masa lalu.
Di luar itu semua, kita sebagai publik juga punya tanggung jawab moral. Ketika kita mengenali nilai keraton sebagai warisan budaya yang hidup, bukan sekadar objek wisata, maka kita ikut menjaga keberlanjutannya. Dukungan publik, apresiasi budaya, serta pemahaman sejarah adalah fondasi yang membuat keraton tetap bernyawa.
Pendekatan antropologi-terapan menawarkan jalan keluar yang lebih sesuai dengan karakter budaya Jawa, yakni penyelesaian melalui mekanisme simbolik dan ritual yang mampu memulihkan harmoni sosial. Dalam tradisi keraton, rekonsiliasi tidak hanya dilakukan lewat dialog rasional, tetapi melalui serangkaian prosesi seperti pisowanan, wilujengan, atau tapak tilas leluhur yang menghadirkan kembali ingatan kolektif tentang asal-usul bersama.
Ritual-ritual ini berfungsi sebagai symbolic healing (memulihkan rasa, melunakkan ego, dan membuka ruang bagi keterhubungan emosional antar-trah yang selama ini renggang). Di samping itu, praktik cultural mediation yang melibatkan sesepuh budaya, ahli sejarah, dan pemimpin adat dapat membantu menerjemahkan konflik modern ke dalam bahasa nilai-nilai Jawa yang lebih dapat diterima oleh pihak yang bertikai. Dengan pendekatan ini, penyelesaian konflik tidak hanya menyasar permukaan, tetapi menyentuh akar rasa dan struktur makna yang menopang identitas keraton itu sendiri.
Pada akhirnya, perpecahan di Keraton Solo menjadi cermin bagi kita tentang rapuhnya lembaga budaya jika tidak dikelola dengan bijak. Retaknya lembaga adat adalah retaknya memori kolektif yang telah diwariskan berabad-abad.
Namun setiap retak selalu bisa diperbaiki, dengan kemauan, kebijaksanaan, dan rasa cinta terhadap warisan sendiri. Keraton, dalam segala kompleksitasnya, bukan hanya milik para bangsawan. Ia adalah milik bangsa. Menjaganya berarti menjaga masa depan budaya kita. Dan jika perpecahan ini dapat menjadi awal rekonsiliasi, maka sejarah akan mencatat bahwa di tengah badai, kita memilih berdiri bersama, bukan terpecah belah.
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu KomunikasiUniversitas Ahmad Dalan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |