TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 tahun ini menjadi momen refleksi yang mendalam. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pahlawan adalah kemerdekaan politik, simbol kedaulatan bangsa. Namun di tengah gemuruh globalisasi, muncul pertanyaan penting: apakah kita sudah merdeka secara ekonomi?
Ironisnya, alih-alih berdaulat penuh, kita justru terjerat dalam ikatan utang dan ketergantungan impor yang menjadi penjara modern bagi kemandirian bangsa. Data terbaru menunjukkan tantangan ini nyata. Posisi utang luar negeri Indonesia, meski pertumbuhannya melambat, masih signifikan.
Laporan Bank Indonesia per Mei 2025 mencatat total utang luar negeri mencapai $435,6 miliar dengan utang pemerintah sebesar $209,6 miliar. Mayoritas memang berupa utang jangka panjang, tetapi beban bunga tahunan mencapai sekitar $34 miliar dalam APBN 2025 menurut laporan Jakarta Globe.
Beban ini mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai program strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya menjadi prioritas bagi kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, ketergantungan impor masih menjadi masalah kronis. Meski kita mencatat surplus perdagangan selama 62 bulan berturut-turut hingga Juni 2025, surplus itu terutama disumbang oleh sektor nonmigas.
Neraca perdagangan migas justru defisit sebesar $8,83 miliar di semester pertama 2025. Ini menunjukkan kita masih sangat bergantung pada pasokan energi luar negeri, sebuah kerentanan strategis yang dapat mengguncang ekonomi jika harga melonjak atau pasokan terganggu.
Selain energi, impor bahan baku industri dan beberapa komoditas pangan juga masih tinggi, membuat industri dalam negeri rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan proteksionisme negara lain.
Kemerdekaan sejati bukan sekadar bendera berkibar di angkasa. Ia juga berarti kemampuan bangsa untuk mandiri menentukan nasib ekonominya. Di tengah pesta perayaan, kita harus jujur bahwa perjuangan meraih kemerdekaan ekonomi masih jauh dari selesai.
Selain utang dan impor, peringatan kemerdekaan juga menjadi momentum untuk menilai kedaulatan kita atas kekayaan alam. Di era globalisasi, kepemilikan sumber daya bukan hanya soal teritori tetapi juga soal kendali ekonomi.
Meski terbebas dari penjajahan fisik, dominasi investasi asing di sektor strategis seperti pertambangan, energi, dan perkebunan memunculkan pertanyaan sejauh mana kita berdaulat atas bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Aliran investasi asing langsung masih menjadi motor penggerak di banyak sektor. Laporan BKPM mencatat realisasi PMA semester pertama 2025 sebesar $24,5 miliar, naik 15 persen dari tahun lalu.
Angka ini menandakan kepercayaan investor terhadap iklim ekonomi Indonesia. Namun, sebagian besar dana mengalir ke sektor pertambangan, logam dasar, dan manufaktur, di mana kendali operasional sering dipegang pihak asing.
Isu krusialnya adalah repatriasi keuntungan. Data Bank Indonesia menunjukkan arus keluar repatriasi laba pada kuartal II 2025 mencapai $5,7 miliar. Artinya, sebagian besar hasil dari eksploitasi sumber daya alam justru mengalir ke luar negeri. Ini ibarat memiliki tanah subur, namun hasil panennya dibawa pergi orang lain.
Kedaulatan sejati berarti bukan hanya memiliki sumber daya tetapi juga mengendalikan pemanfaatannya dan memastikan hasilnya untuk kemakmuran rakyat. Tanpa kendali kuat atas aset strategis, kemerdekaan ekonomi kita akan rapuh dan menjadi sekadar slogan di atas kertas.
Untuk memutus rantai ketergantungan ini diperlukan langkah-langkah strategis yang konsisten.
Pertama, hilirisasi industri. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri, mengubah peran kita dari pemasok bahan mentah menjadi pemain penting dalam rantai pasok global.
Kebijakan ini tidak bebas dari kritik seperti kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan dominasi asing dalam keuntungan. Karena itu, hilirisasi harus disertai tata kelola adil, perlindungan lingkungan yang ketat, dan keterlibatan aktif pelaku usaha lokal.
Kedua, penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai benteng pertahanan ekonomi nasional. UMKM terbukti tangguh menghadapi guncangan global. Akses permodalan yang mudah, pelatihan digital, dan fasilitas pemasaran akan memberdayakan jutaan pelaku usaha lokal, membangun ekonomi dari bawah, dan menyebarkan manfaat secara merata.
Ketiga, partisipasi aktif masyarakat. Pilihan sederhana untuk mencintai dan memprioritaskan produk lokal berdampak besar. Setiap pembelian produk dalam negeri berarti lapangan kerja untuk rakyat, pajak bagi negara, dan dorongan bagi ekonomi nasional. Ini adalah bentuk patriotisme ekonomi yang nyata.
Merayakan Hari Kemerdekaan ke-80 bukan hanya tentang seremoni tetapi juga merenungkan perjuangan yang masih berlangsung. Kemerdekaan sejati adalah kebebasan politik yang dibarengi kedaulatan ekonomi.
Perjalanan ini panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan kebijakan tepat, perbaikan berkelanjutan, dan dukungan seluruh rakyat, Indonesia dapat menjadi bangsa yang benar-benar mandiri dan sejahtera, bukan hanya dalam wacana tetapi dalam kenyataan.
***
*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |