TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80, jagat media sosial digemparkan oleh pengibaran bendera One Piece sejajar dengan bendera Merah Putih. Aksi yang memadukan ikon budaya populer dengan simbol negara ini menuai beragam respons,mulai dari dukungan publik hingga peringatan keras dari pemerintah yang menilai ada potensi pelanggaran hukum.
Peneliti Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, Ayom Mratita Purbandani, menilai fenomena ini bukan ancaman negara, melainkan bentuk perlawanan simbolik sekaligus ekspresi kebebasan sipil.
“Ini ekspresi protes yang sifatnya simbolik. Budaya populer digunakan sebagai media kritik, mirip salam tiga jari di Thailand atau simbol semangka untuk Palestina,” ujar Ayom, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, perlawanan semacam ini biasanya spontan, emosional, dan menyebar cepat lewat media sosial, berbeda dari demonstrasi konvensional. Ayom justru mengkritik sikap pemerintah yang mengaitkan aksi ini dengan makar.
“Reaksi berlebihan menunjukkan political paranoid. Membatasi ekspresi seperti ini memberi kesan ruang kebebasan sipil makin menyempit,” tegasnya.
Bagi generasi muda, idiom budaya populer menjadi medium efektif untuk menyampaikan kritik politik karena ringan dan mudah dipahami.
“Anak muda punya banyak cara untuk bersuara. Mereka memilih simbol yang akrab agar pesan diterima luas,” tambahnya.
Bukan Gerakan Radikal
Sosiolog politik Dr. Arie Sujito menilai aksi bendera One Piece bukanlah bentuk radikalisme. “Simbol ini melambangkan perjuangan dan perjalanan panjang, bukan gejala krisis politik baru,” jelas Arie.
Ia menilai fenomena ini merupakan akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang difasilitasi media sosial. Menurutnya, pelarangan tidak akan efektif.
“Motor resonansi yang baik itu terbuka. Secara simbolik dan substansial, beginilah cara masyarakat mengingatkan bahwa ada isu penting,” kata Arie.
Arie menambahkan, aksi ini berhasil menghadirkan isu keadilan dan krisis nasional yang sering tenggelam di tengah banjir informasi sepele di dunia maya.
Tren Baru Perayaan Kemerdekaan
Budayawan Prof. Faruk melihat ada pergeseran dalam cara masyarakat merayakan kemerdekaan. Jika dulu identik dengan gapura, bambu runcing, dan dominasi merah putih, kini hadir kreativitas anak muda yang memanfaatkan ikon budaya populer.
“Dari sisi kreatif, ini strategi komunikasi unik. Kritik disampaikan lewat simbol yang dekat dengan generasi muda,” ujarnya.
Faruk menilai fenomena bendera One Piece ini bukan gerakan yang dimobilisasi pihak tertentu, melainkan kelanjutan dari protes seperti Indonesia Gelap atau Darurat Konstitusi.
“Ini bukan radikalisme, tapi kepedulian terhadap kondisi negara. Anak muda menyampaikan kritiknya dengan cara imajinatif,” tambahnya.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa budaya populer kini memainkan peran penting dalam komunikasi politik. Kritik tidak selalu datang dalam bentuk orasi di jalan, tetapi bisa muncul lewat simbol yang akrab di mata publik—menyentuh sisi kemanusiaan sekaligus imajinasi, tanpa harus bersifat frontal.
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Faizal R Arief |