TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Sidang kasus dugaan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan terdakwa dr M Akbar Arifin memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan 6 bulan penjara terhadap dokter yang bertugas pada sebuah Puskesmas di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta tersebut.
Berkas tuntutan itu dibacakan oleh JPU Martin Eko Priyanto yang sekaligus menjabat sebagai Kasi Pidum Kejari Wates, Kulonprogo pada Rabu (11/10/2023). “Menuntut terdakwa dengan hukuman 6 bulan kurungan,” kata Martin dalam persidanga
Terpisah, Humas PN Wates, Kulonprogo, Setyorini Wulandari menyebutkan sidang dipimpin oleh hakim ketua Andri Supari dengan dua hakim anggota yaitu Evi Insiyati dan Nurachman Fuadi. Persidangan dengan agenda tuntutan tersebut berlangsung lancer.
Ketika disinggung mengenai apakah majelis hakim harus memutus sesuai tuntutan jaksa, memutus lebih rendah dari tuntutan jaksa atau lebih tinggi dari tuntutan jaksa? Wulandari menegaskan, bahwa putusan atas suatu perkara yang ada di persidangan mutlak ada para majelis hakim.
Menurutnya, tidak ada larangan bila majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa diatas tuntutan jaksa. Sebaliknya, tidak ada larangan pula bila majelis hakim menjatuhkan putusan dibawah tuntutan jaksa atau mengabulkan tuntutan jaksa sebagaimana yang diajukan jaksa saat pembacaan tuntutan.
“Yang tidak boleh itu bila majelis hakim menjatuhkan putusan diatas/melebihi dari ancaman pidana yang sudah diatur dalam Pasal 44 ayat 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),” tandas Wulandari.
Sebelumnya, pada sidang perdana pembacaan dakwa, JPU Martin Eko Priyanto dan Evi Nurul Hidayati menyebutkan bahwa perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh terdakwa Akbar terhadap isterinya yaitu Tika telah dibuktikan dengan hasil visum dari RSU Queen Latifa Kulonprogo.
Atas bukti-bukti tersebut, jaksa menjerat terdakwa Akbar dengan dakwaan primer Pasal 44 ayat 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bahwa, setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.
Sedangkan dakwaan subsider terdakwa Akbar dijerat dengan Pasal 44 ayat 4 UU RI Nomor 23 Tahun 2004. Bahwa, dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadah isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Tuntutan yang diajukan jaksa tersebut mendapat reaksi dari keluarga korban dan pegiat hukum Yogyakarta. Kadiv Humas JPW, Baharuddin Kamba menilai, tuntutan yang diajukan jaksa terhadap terdakwa KDRT yaitu dr M Akbar Arifin terlalu minimalis.
Baginya, tuntutan 6 bulan penjara terhadap terdakwa KDRT yang berstatus ASN di lingkungan Pemkab Kulonprogo tersebut menjadi preseden buruk atas penegakan hukum kasus KDRT di tanah air.
Tuntutan jaksa tersebut semakin menambah daftar panjang dereten penegakan hukum yang tidak berpihak kepada korban dan keluarga korban. Tuntutan rendah terhadap pelaku KDRT yang menyeret seorang suami terus bertambah dan sangat merugikan kalangan perempuan dan tidak menguntungkan bagi seorang isteri yang jadi korban .
“Karena itu, kami JPW meminta kepada Asisten Pengawasan (Aswas) Kejati DIY untuk melakukan evaluasi terhadap tuntutan JPU yang terkesan minimalis ini,” desak Baharudin Kamba kepada TIMES Indonesia, Kamis (12/10/2023).
Baharudin meminta kepada Aswas untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap para jaksa yang menangani kasus KDRT di Kulonprogo tersebut. Ia menduga, ada pelanggaran etik terhadap oknum jaksa yang ogah mendengarkan aspirasi keluarga korban dan aktivis peduli perempuan.
“Jika perlu Komisi Kejaksaan (Komjak) RI turun ke Kejari Kulonprogo atas tuntutan JPU yang terkesan minimalis ini,” pinta Baharudin.
Apabila nanti diketahui ada dugaan pelanggaran etik atas tuntutan tersebut, maka ia meminta kepada Aswas dan Komjak untuk memberikan sanksi tegas terhadap para jaksa yang bertugas di Kejari Kulonprogo tersebut.
Sebaliknya, bila tidak maka kejaksaan harus dapat memberikan penjelasan dan alasan mengapa tuntutan yang diajukan jaksa sangat minim.
Ia menyebut, semestinya jaksa itu punya empati dan kepedulian terhadap para korban KDRT, apalagi yang menjadi korban itu adalah seorang perempuan.
"Seyogyanya majelis hakim dapat menjatuhkan putusan yang adil terhadap perkara ini mengingat korban KDRT adalah seorang perempuan. Fakta persidangan jelas, terdakwa juga ketahuan membawa seorang perempuan lain ke dalam rumah di saat korban tidak sedang di rumah,” tandas Baharudin. (*)
Pewarta | : Fajar Rianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |