https://jogja.times.co.id/
Kopi TIMES

PDI Perjuangan Pasca Pilkada dan Dinamika Menuju Kongres 2025

Sabtu, 21 Desember 2024 - 07:25
PDI Perjuangan Pasca Pilkada dan Dinamika Menuju Kongres 2025 Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pasca pilkada serentak 2024, PDI Perjuangan sebagai salah satu partai politik terbesar di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar yang tidak hanya berakar pada dinamika elektoral, tetapi juga pada konsolidasi internal menuju Kongres 2025. Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengenai potensi “cawe-cawe” dalam perhelatan kongres mendatang menambah dimensi politik yang menarik untuk dianalisis. 

Dalam konteks ini, tulisan ini akan membahas tantangan yang dihadapi PDI Perjuangan, baik dari sisi internal maupun eksternal, dengan pendekatan argumentatif dan berbasis pengamatan politik.

Potensi Polarisasi dan Fragmentasi

Salah satu tantangan utama yang dihadapi PDI Perjuangan adalah menjaga soliditas internal partai. Pasca pilkada, dinamika politik daerah seringkali menciptakan kubu-kubu baru di dalam partai, terutama jika hasil pilkada tidak sesuai dengan ekspektasi kelompok tertentu. 

Beberapa pengamat politik, seperti Burhanuddin Muhtadi, mencatat bahwa konflik internal seringkali muncul ketika distribusi kekuasaan di daerah tidak merata atau dianggap tidak adil. Pernyataan Megawati mengenai “cawe-cawe” dalam kongres mendatang dapat dilihat sebagai sinyal kewaspadaan terhadap potensi polarisasi di antara kader senior dan generasi muda partai. 

Sementara Kongres 2025 diprediksi akan menjadi arena pertarungan kepemimpinan yang menentukan arah PDI Perjuangan di masa depan. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi fragmentasi ini dapat melemahkan daya saing partai dalam pemilu mendatang.

Hanta Yuda menduga bahwa potensi polarisasi dan fragmentasi ini bisa jadi dikelola oleh Joko Widodo (Jokowi) mantan Presiden dan juga Mantan Kader, yang memiliki kedekatan dengan sejumlah kader strategis PDI Perjuangan. Jokowi, meskipun telah dipecat secara resmi dari partai ini, dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang sering menciptakan otonomi tertentu dalam pengambilan keputusan politik. 

Hal ini dapat menciptakan situasi di mana beberapa faksi dalam partai merasa lebih dekat dengan Jokowi daripada dengan kepemimpinan pusat partai. Padahal PDI Perjuangan selama ini telah mampu menjadikan kader untuk totalitas setia dengan partai tidak perorangan, namun kehadiran jokowi sejak menjadi Walikota Solo hingga menjadi Presiden tidak dapat dipungkiri memiliki hubungan yang intim dengan kader-kader inti ataupun kader potensial. 

Keterhubungan diatas yang mampu disimpulkan adanya dinamika perusakan citra partai dan Megawati sebagai pimpinan partai PDI Perjuangan akhir-akhir ini telah terencana dengan matang dan sistematis. Pengaruh Jokowi, baik disengaja maupun tidak, dapat memperburuk ketegangan internal partai. 

Siti Zuhro, pengamat politik dari LIPI, menyatakan bahwa “Jokowi sebagai mantan presiden dan figur yang kuat dalam politik nasional, sering kali memiliki pengaruh yang secara tidak langsung menciptakan dinamika di partai asalnya. Dalam konteks PDI Perjuangan, ini bisa berupa perbedaan arah kebijakan atau loyalitas kader yang tidak seragam.” 

Dengan demikian tampak jelas bahwa indikasi peran jokowi dalam proses pengambilalihan Kekuasaan dan atau menggembosi partai PDI Perjuangan dan menghasilkan sebuah hasil analisa, dimana yang kader ideologis dan setia dengan partai dan mana kader pragmatis dan menghamba pada jokowi.  

Kompetisi Politik dan Legitimasi Publik

Selain tantangan internal, PDI Perjuangan juga harus menghadapi tekanan dari luar, termasuk meningkatnya kompetisi dari partai-partai politik lain yang mencoba merebut dominasi elektoralnya. Misalnya, Partai NasDem, Gerindra, dan Demokrat terus memperluas basis massa mereka, khususnya di kalangan pemilih muda dan pemilih urban. 

Pengamat politik Yudi Latif menyoroti bahwa “Tren Populisme Baru” dapat mengancam partai-partai mapan yang dianggap terlalu elitis atau tidak responsif terhadap aspirasi rakyat. Dengan demikian penting sekali untuk ditekankan kepada seluruh kader yang hari ini berada pada tampuk kekuasaan Parlemen maupun eksekutif untuk tampil sebagai penguasa yang dan atau pengawas (DPR) yang kritis dan pro wong cilik, sebagaimana manifesto dari partai tersebut marhaenisme segala sesuatu yang menitikberatkan pada representasi wong cilik serta menghantarkan pada gerbang kemerdekaan hidupnya. 

Legitimasi publik terhadap PDI Perjuangan juga menjadi perhatian. Beberapa kebijakan yang diusung oleh kader partai di pemerintahan, seperti kenaikan harga bahan pokok dan isu lingkungan, telah memicu kritik dari masyarakat. Jika kritik ini tidak diantisipasi, elektabilitas partai dapat tergerus, terlebih menjelang Pemilu 2029. 

Dengan demikian mendiskusikan dan menjawab misalnya sejumlah 25 juta rakyat miskin menjadi sangat penting. Seterusnya ialah kelompok-kelompok UMKM dimana pertumbuhan ekonomi nasional kerap terbantu dengan adanya UMKM dan Industri Kreatif. 

Dua hal tersebut harus perjuangankan dengan sepenuh hati karena se-nafas dengan nadi pergerakan ideologi partai, dan sekaligus menjawab regenerasi kader masa depan, dibawah platfom partai nasionalis yang dipimpin langsung oleh keturunan Bung Karno.    

Isu regenerasi menjadi topik sentral dalam menghadapi Kongres 2025. Megawati telah beberapa kali menekankan pentingnya kaderisasi yang berkesinambungan, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan resistensi terhadap perubahan. 

Peneliti dari LIPI, Siti Zuhro, mencatat bahwa partai politik di Indonesia cenderung mengandalkan figur sentral sehingga proses regenerasi sering kali terhambat, padahal proses kaderisasi berjengjang telah dilakukan setiap tahun oleh partai, namun demikan tantangan partai senantiasa senada dengan tantangan keadaan zaman.

Langkah terbaiknya ialah melakukan upgrading kaderisasi nasional tidak dapat dibantah kemenangan globalisasi dan kapitalis global menjadi sebab utama arus demokrasi menjadi sangat pragmatis nah disinilah ujian partai dan negara suka tidak suka negara sedang membutuhkan konsensus nasional berkaitan dengan jalan panjang demokrasi indonesia mendatang. 

Jika PDI Perjuangan gagal menyiapkan pemimpin yang dapat menjembatani generasi lama dan baru, maka kongres ini berpotensi menjadi ajang konflik antar faksi. Di sisi lain, adanya “cawe-cawe” dari Megawati, baik dalam bentuk dukungan atau veto terhadap kandidat tertentu, dapat memperpanjang dinamika sentralisasi kekuasaan di partai. 

Sisi menariknya partai PDI Perjuangan terletak pada kepercayaan semua kader bahwa tampuk kepemimpinan partai haruslah dari keturunan Bung Karno, sehingga elite politik tidak akan melakukan perang tertutup ataupun terbuka antar kader, sebab sedari awal menjadi kader sudah dipupuk dengan cinta, kerelaan, kepercayaan, pengorbanan tidak mementingkan posisi atau struktur untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat, inilah tampaknya yang menjadi perbedaan partai PDI Perjuangan dengan partai lain. 

Upaya melakukan upgrade kaderisasi nasional menjadi sangatlah penting, dalam Peradaban teknologi dan demokrasi digital baik yang terjadi di Indonesia maupun global harus segera mendapatkan sebuah konsep nan Paradigma dan mendorong konsensus nasional tentang “tatanan masyarakat Indonesia modern.” 

Hal ini akhirnya akan menjadi fondasi atau manifesto baru dalam berkehidupan bangsa Indonesia dalam menyongsong Indonesia emas 2045. Meletakan kepentingan keberlangsungan bangsa atau negara diatas kepentingan apapun sebagaimana ajaran Bung Karno.    

Kepemimpinan Keturunan Bung Karno sebagai Pilar Stabilitas

Sejak era reformasi, PDI Perjuangan menunjukkan perkembangan signifikan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, yang merupakan keturunan langsung Bung Karno. Pengalaman sejarah selama Orde Baru, terutama pada masa kepemimpinan Suryadi, menunjukkan bagaimana partai ini pernah terpuruk hingga kehilangan legitimasi dan dukungan publik. Kepemimpinan Megawati berhasil membawa partai ini bangkit dan menjadi salah satu kekuatan politik dominan di Indonesia pasca reformasi. 

Keberadaan sosok keturunan Bung Karno tidak hanya menjadi simbol sejarah, tetapi juga juru penyelamat yang mampu menjaga stabilitas internal dan membawa partai menuju perbaikan yang signifikan. Dalam proses pilkada selama dua dekade terakhir, PDI Perjuangan mampu menunjukkan konsistensi elektoral dan soliditas organisasi, yang sebagian besar disebabkan oleh kepemimpinan karismatik keturunan Bung Karno. Pengamat politik Fachry Ali menilai bahwa “keberlanjutan kepemimpinan keturunan Bung Karno telah menjadi perekat ideologis dan organisatoris di tubuh partai.”

Lebih dari itu, dinamika internal yang sering terjadi di PDI Perjuangan sebenarnya menunjukkan bahwa kaderisasi telah berlangsung dengan baik. Konflik atau perbedaan pendapat dalam tubuh partai tidak mengarah pada perpecahan permanen, melainkan menjadi bagian dari proses demokratisasi internal. Kepemimpinan keturunan Bung Karno diharapkan dapat terus menjadi penjaga stabilitas ini, terutama dalam menghadapi tantangan politik di masa depan.

PDI Perjuangan: Serangan Bertubi-Tubi Elite Partai

Dalam seminggu terakhir media online dibanjiri dengan informasi yang mencoba untuk mendeskreditkan atau merusak nama baik Partai PDI Perjuangan, Pimpinan Partai, Megawati Soekarnoputri, Hasto Kristianto Sekjend DPP Partai PDI Perjuangan, hingga elite-elit Partai perjuangan, mulai dari Yasonna Laoly, Bambang Pacul, Andi Widjajanto, menariknya peritiwa ini berjalan pasca pemecatan Jokowi dan keluarganya. Adanya peristiwa diatas mengundang tanya, ada apa dengan PDI Perjuangan pasca pilkada hingga proses menuju Konggres 2025 mendatang?

Para pengamat politik menilai bahwa serangan bertubi-tubi ini merupakan indikasi adanya kekuatan eksternal yang berusaha mempengaruhi dinamika internal PDIP menjelang kongres. Mereka mengingatkan bahwa stabilitas internal partai sangat penting untuk menjaga konsolidasi dan soliditas kader dalam menghadapi agenda politik ke depan.

Teknologi dan Demokrasi Digital

Pada periode 2024-2029, tantangan global yang berdampak pada Indonesia mencakup perkembangan pesat teknologi dan demokrasi digital. Teknologi informasi, termasuk media sosial dan kecerdasan buatan, telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi dan berpolitik. 

Demokrasi digital, meskipun menawarkan peluang untuk partisipasi yang lebih luas, juga membawa risiko disinformasi, polarisasi sosial, dan manipulasi politik oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab.

Dalam konteks ini, PDI Perjuangan perlu merumuskan strategi untuk menjawab tantangan tersebut dengan pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai Demokrasi Pancasila seperti yang diusung Bung Karno. Demokrasi Pancasila, yang menekankan musyawarah mufakat dan keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif, dapat menjadi alternatif untuk menghadapi ekses negatif demokrasi digital. Implementasi prinsip ini dapat membantu partai menciptakan ruang dialog yang inklusif, menekan polarisasi, dan mencegah penyalahgunaan teknologi untuk kepentingan sesaat.

Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah menekankan bahwa “tantangan digital membutuhkan pendekatan politik yang tidak hanya modern, tetapi juga berakar pada nilai-nilai lokal.” Dalam hal ini, PDI Perjuangan memiliki peluang untuk memimpin dengan menunjukkan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memperkuat demokrasi, misalnya melalui platform digital yang mendorong partisipasi politik yang sehat dan transparan.

Strategi Menghadapi Tantangan

Untuk menghadapi tantangan tersebut, PDI Perjuangan perlu mengambil langkah-langkah strategis, di antaranya: Pertama, Konsolidasi Internal: Membuka ruang dialog antara faksi-faksi di partai untuk menghindari potensi perpecahan. Proses ini harus melibatkan seluruh elemen partai, mulai dari pengurus pusat hingga daerah. 

Kedua, Pemanfaatan Teknologi: Meningkatkan keterlibatan generasi muda melalui pendekatan berbasis teknologi dan media sosial untuk memperluas basis dukungan. 

Ketiga, Penerapan Demokrasi Pancasila: Mengintegrasikan nilai-nilai Demokrasi Pancasila dalam mekanisme pengambilan keputusan partai untuk menghadapi tantangan demokrasi digital. 

Keempat, Peningkatan Legitimasi Publik: Memastikan bahwa kebijakan-kebijakan partai tetap pro-rakyat dan memperkuat komunikasi politik untuk menjawab kritik yang muncul. 

Kelima, Kaderisasi dan Regenerasi: Menyiapkan mekanisme yang transparan dan inklusif untuk memilih pemimpin baru yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak di dalam partai.

Tantangan yang dihadapi PDI Perjuangan pasca pilkada dan menuju Kongres 2025 mencerminkan kompleksitas politik di Indonesia. Dengan mengelola isu-isu internal dan eksternal secara efektif, partai ini dapat mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik utama. 

Namun, keberhasilan tersebut sangat bergantung pada kemampuan kepemimpinan partai dalam menghadirkan solusi yang adaptif dan progresif, tanpa meninggalkan akar ideologisnya sebagai partai wong cilik. 

Dalam konteks ini, keberlanjutan kepemimpinan keturunan Bung Karno menjadi kunci strategis yang tidak hanya menjamin stabilitas internal, tetapi juga memastikan relevansi ideologis PDI Perjuangan dalam dinamika politik nasional.

***

*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.