TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Menjelang puncak perayaan Garebeg Mulud Dal 1959 Jawa atau 2025 Masehi, Keraton Yogyakarta kembali menggelar prosesi sakral Hajad Dalem Numplak Wajik di Panti Pareden Kilen, Kompleks Magangan.
Tradisi ini menjadi awal dari penyusunan Gunungan, simbol syukur sekaligus perekat kebersamaan antara raja dan rakyat Yogyakarta.
Prosesi dipimpin langsung oleh Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, didampingi para Kanca Keparak. Dalam ritual ini, adonan wajik dituangkan ke dalam bakul hingga penuh, yang kemudian dijadikan pondasi bagi Gunungan Estri. Dari dasar wajik inilah sujen kue ketan ditancapkan hingga membentuk gunungan utuh yang kelak diarak pada puncak Garebeg.
“Wajik bukan sekadar makanan tradisional, melainkan simbol kemanisan hidup, perekat kebersamaan, serta fondasi kokoh dalam gunungan,” ujar salah seorang Abdi Dalem yang terlibat dalam prosesi, Kamis (4/9/2025).
Gunungan yang tersusun nantinya akan diarak dan dibagikan kepada masyarakat pada puncak Garebeg Mulud, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini diyakini sebagai sedekah raja kepada rakyat, sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat setiap tahun menantikan momen ini, karena berebut gunungan dipercaya membawa berkah, keselamatan, dan kesejahteraan. Kehadiran gunungan juga menegaskan eratnya hubungan antara Keraton sebagai pemimpin dengan rakyatnya.
Gejog Lesung Perkuat Suasana Sakral
Jalannya prosesi semakin khidmat dengan lantunan gejog lesung yang dimainkan oleh Abdi Dalem Keparak. Dentuman alu dan lesung menghadirkan irama khas Jawa yang sarat doa keselamatan dan dipercaya menambah kekhidmatan acara.
Bagi masyarakat Jawa, gejog lesung bukan sekadar musik, melainkan media spiritual untuk mengirimkan doa, menjaga harmoni, dan mengingatkan pentingnya kebersamaan dalam menjalani kehidupan.
Prosesi Numplak Wajik merupakan salah satu rangkaian dari Hajad Dalem Sekaten, yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Rangkaian perayaan telah berlangsung sejak Jumat (29/8/2025) dan akan berakhir pada Jumat (5/9/2025).
Selama periode itu, dua gamelan pusaka keraton yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga ditabuh secara bergantian di Pagongan Masjid Gedhe Kauman, menghadirkan suasana religius sekaligus meriah di pusat Kota Yogyakarta.
Pelestarian Tradisi Adiluhung
Melalui prosesi Numplak Wajik, Keraton Yogyakarta tidak hanya menjaga ritual leluhur, tetapi juga menegaskan pentingnya pelestarian budaya adiluhung Jawa. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa spiritualitas, syukur, dan kebersamaan adalah fondasi kehidupan masyarakat.
“Prosesi seperti ini harus terus dijaga agar generasi muda memahami nilai luhur budaya Jawa, sekaligus memperkuat jati diri Yogyakarta sebagai kota budaya,” ungkap seorang pemerhati budaya lokal.
Dengan kekayaan makna dan nilai spiritual yang terkandung di dalamnya, Numplak Wajik tak sekadar seremoni, melainkan cerminan hubungan harmonis antara manusia, tradisi, dan Sang Pencipta. (*)
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |