TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Gejolak demonstrasi besar yang terjadi akhir pekan lalu dinilai memberi dampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Aksi massa yang diwarnai kericuhan tidak hanya menekan kepercayaan pelaku pasar, tetapi juga memicu kekhawatiran dunia internasional hingga beberapa negara menerbitkan peringatan perjalanan (travel warning) ke Indonesia.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Denni Puspa Purbasari, menegaskan bahwa penurunan kepercayaan pasar merupakan konsekuensi wajar dari situasi sosial dan politik yang tidak stabil. Ia mengingatkan pentingnya menjaga harmoni sosial-politik agar roda ekonomi tetap tumbuh.
“Ekonomi membutuhkan stabilitas politik. Hal itu sudah lama ditegaskan dalam Trilogi Pembangunan pada era Presiden Soeharto,” ujarnya kepada wartawan di Kampus FEB UGM, Kamis (4/9/2025).
Trilogi Pembangunan Masih Relevan
Menurut Denni, trilogi pembangunan yang terdiri dari Stabilitas Nasional yang Dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, serta Pemerataan Pembangunan, masih relevan hingga saat ini. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan menjadi fondasi agar perekonomian Indonesia tidak mudah goyah.
Ia mencontohkan, gejolak pasar tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada puncak demonstrasi, IHSG merosot 2,7 persen dari 7.952,09 pada Kamis (28/8/2025) menjadi 7.736,07 pada Senin (1/9/2025). Penurunan tersebut setara dengan hilangnya nilai kapitalisasi pasar sekitar Rp385–391 triliun.
“Angka itu menunjukkan confidence investor menurun. Prospek ekonomi dipersepsikan memburuk, sementara risiko dianggap meningkat,” jelas Denni.
Dampak bagi Dunia Usaha dan UMKM
Situasi yang tidak kondusif disebut Denni menekan kepercayaan pelaku usaha, termasuk risiko pasar (market risk) yang melekat pada pergerakan IHSG. Meski begitu, tidak semua saham mengalami penurunan karena masih ada sektor tertentu yang didukung faktor positif.
Bagi perusahaan besar, mitigasi bisnis bisa dilakukan melalui manajemen risiko, jaringan, permodalan, hingga instrumen proteksi seperti asuransi. Namun, UMKM justru paling rentan. “Bagi usaha kecil, tiga hari tidak berjualan berarti kehilangan 10 persen omzet bulanan. Dampaknya sangat terasa,” ungkapnya.
Belajar dari Krisis 1998 dan Demo 212
Denni mengingatkan, gejolak politik dan sosial kerap berimbas pada ekonomi. Demo besar 212 misalnya, ikut mengguncang pasar meski skalanya tidak sebesar krisis multidimensi 1998 ketika IHSG anjlok lebih dari 50 persen.
“Sejarah menunjukkan ekonomi kita rentan terhadap instabilitas politik. Karena itu, menjaga stabilitas menjadi kunci,” katanya.
Selain peran pemerintah, Denni menekankan pentingnya kontribusi masyarakat. Rumah tangga disarankan mengatur arus kas dengan lebih bijak, memilah kebutuhan belanja, serta menabung untuk dana darurat.
“Memang ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Tapi langkah itu perlu untuk menjaga ketahanan keluarga di tengah ketidakpastian,” paparnya. (*)
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |