TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Polemik uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali jadi sorotan publik. Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK), menilai pasal tersebut memicu ketidakpastian hukum, kriminalisasi, hingga politisasi.
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., menegaskan pasal itu tetap diperlukan. Namun, ia menekankan pentingnya tafsir yang tegas agar tidak menimbulkan multitafsir.
“Amicus curiae bisa menjadi bahan pertimbangan hakim, tetapi keputusan tetap di tangan hakim. Pasal 2 dan 3 sebaiknya dipertahankan, bukan dihapus, agar pemberantasan korupsi tidak lumpuh,” jelas Akbar, Kamis (4/9/2025).
Perlu Pembatasan Tafsir
Menurut Akbar, unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 dan 3 semestinya merujuk pada tindak pidana yang sudah jelas, seperti suap atau penggelapan jabatan dalam Pasal 5–13 UU Tipikor. Dengan begitu, kedua pasal tersebut berfungsi sebagai pemberatan hukuman.
“Kalau tafsir tetap dibiarkan umum, risikonya adalah kriminalisasi. Karena itu hakim perlu mempersempit tafsir, bahkan pasalnya bisa diubah agar lebih jelas,” ujarnya.
Akbar menilai penghapusan pasal justru akan melemahkan pemberantasan korupsi. Sebaliknya, membiarkannya tanpa batasan tafsir akan menimbulkan ketidakadilan.
“Pasal ini penting untuk menjangkau kasus korupsi serius. Namun penerapannya harus dibatasi dengan jelas agar ada kepastian hukum bagi masyarakat sekaligus memperkuat agenda pemberantasan korupsi,” paparnya. (*)
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |