TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pameran bertajuk “SUARA Indonesia! Retrospeksi 20 Tahun Konvensi 2005 UNESCO” resmi dibuka sore ini di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (20/12/2025). Pameran ini menjadi ruang refleksi dua dekade Konvensi 2005 UNESCO tentang Perlindungan dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya.
Pameran diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan, dan akan berlangsung hingga 28 Desember 2025 di Galeri Bulaksumur GIK UGM. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, dalam sambutan pembukaan yang disampaikan melalui video, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam penguatan kebijakan kebudayaan nasional. Ia menyebutkan, laporan periodik Konvensi 2005 UNESCO yang akan disusun dan disampaikan pada 2027 menjadi instrumen penting untuk menilai capaian, tantangan, serta arah pembangunan kebudayaan ke depan.
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, membuka pameran Retrofeksi melalui video di GIK UGM, Sabtu, 20/12/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
“Proses ini membutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas, pelaku budaya, hingga sektor swasta, agar praktik baik dan pembelajaran di lapangan dapat terdokumentasi secara komprehensif,” ujar Fadli Zon.
Pameran SUARA Indonesia! dirancang sebagai “ruang baca” yang mengajak pengunjung menelusuri perjalanan kebebasan berekspresi dan keberagaman budaya, baik dari perspektif kebijakan global maupun pengalaman personal dan partisipasi publik. Narasi pameran dimulai dari kronik perkembangan konvensi UNESCO sejak 1950 hingga 2005, termasuk perjalanan Indonesia dalam meratifikasi konvensi tersebut pada 2012.
Empat karya seniman dihadirkan sebagai refleksi artistik atas relasi antara negara, masyarakat, teknologi, dan kebebasan berekspresi. Karya-karya tersebut menegaskan bahwa nilai-nilai Konvensi 2005 bekerja dalam ruang kebudayaan yang hidup dan dinamis.
Segmen awal pameran menampilkan karya instalasi SEGORO GUNUNG–Line Between Shadows oleh Gegerboyo yang membaca Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai sistem pengetahuan dan praktik hidup. Pengunjung kemudian diajak memasuki ruang memori auditif bersama Irama Nusantara melalui instalasi Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas, yang merekam dinamika industri musik Indonesia pada dekade 1960-an.
Pembacaan kritis dilanjutkan melalui film esai I Saw Her in Motion karya Umi Lestari yang menyoroti kembali jejak sutradara perempuan pionir Indonesia, Ratna Asmara dan Kay Mander, dari perspektif dekolonial dan feminisme. Sementara itu, kolektif MIVUBI menghadirkan karya RAMpogan Arena, sebuah simulasi digital yang merefleksikan dinamika kekuasaan dan kebebasan berekspresi di era teknologi.
Pameran ditutup dengan ruang partisipatif yang memungkinkan pengunjung menyampaikan pandangan dan harapan mereka terkait masa depan keberagaman ekspresi budaya di Indonesia.
Salah satu kurator pameran, Ignatia Nilu, mengatakan pameran ini berangkat dari keyakinan bahwa kebudayaan akan terus hidup ketika setiap warga memiliki ruang untuk bersuara. “Konvensi 2005 UNESCO memberi kerangka penting agar keberagaman ekspresi budaya tidak hanya dilindungi, tetapi juga dihidupi melalui partisipasi publik,” ujarnya.
Suasana ruang pameran di GIk UGM yang dipenuhi pengunjung usai dibuka sore ini, Sabtu, 20/12/2025. (Foto; Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Selain pameran, rangkaian agenda publik turut digelar, antara lain talkshow SUARA Indonesia! bersama tim penyusun laporan periodik Konvensi 2005, kurator, dan seniman, pentas teater Tanah Warisan, serta pentas musik yang dijadwalkan berlangsung hingga akhir pameran.(*)
| Pewarta | : Eko Susanto |
| Editor | : Faizal R Arief |