Kopi TIMES

Wisanggeni Menagih Hak Atas Astina

Rabu, 31 Agustus 2022 - 12:11
Wisanggeni Menagih Hak Atas Astina Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Wisanggeni buru-buru menulis surat pada Duryodana. Isi surat mengenai permintaan agar kerajaan Astina dikembalikan kepada Pandawa. Hasrat yang mendorong Wisanggeni meminta hak atas kepemilikan kerajaan Astina menghindari perang bharatayuddha. Tak usah perang. Karena perang mengorbankan banyak materi dan nyawa melayang sia-sia. Untuk itu Wisanggeni memiliki keinginan mengambil alih Astina. Secepatnya.

Diam-diam. Tak diketahui oleh keluarga besar Pandawa. Surat rahasia permohonan agar Astina berada dibawah kendali Pandawa dikirim oleh Wisanggeni. Dengan surat ini, Wisanggeni berharap Duryodana melepaskan dengan ikhlas. Ada kesadaran dari Duryodana. Astina hanya dipimpin sementara oleh Duryodana. Sejarah menunjukkan. Tempo dulu. Ketika Pandawa menjadi pewaris syah dari Astina masih kecil. Belum saatnya menjadi raja. Maka terlebih dahulu dipimpin oleh Duryodana. Kelak saat Pandawa sudah berumur. Memiliki kesiapan memimpin kerajaan Astina. Tahta akan diberikan pada Pandawa.

Namun saat keluarga Pandawa sudah dewasa. Mempunyai kemampuan yang memadai menjadi raja. Seharusnya tahta diserahkan secara cuma-cuma pada Pandawa. Kenyataan yang terjadi. Duryodana masih duduk manis di singgasana. Tak mau menyerahkan kekuasaan pada Pandawa. Barangkali menjadi raja itu enak. Banyak fasilitas secara materi yang diperoleh oleh raja. Belum lagi kehormatan. Pelayahan ekstra yang diterimanya. Dan upeti-upeti lain yang memakmurkan secara pribadi. Membuat Duryodana tak mau turun. Inginnya tetap menjadi raja.

Barangkali keinginan tetap berkuasa. Membuat surat yang dikirim  Wisanggeni tak direspon Duryodana. Lama menanti surat balasan dari Duryodana. Tak kunjung datang. Wisanggeni tak sabar. Berencana menanyakan langsung mengenai jawaban dari Duryodana atas surat yang telah dikirim jauh hari sebelumnya.

Tak perlu mikir Panjang. Tak perlu minta nasehat pada ayahnya. Arjuna. Tak penting meminta petuah dari keluarga Pandawa yang lain. Wisanggeni sigap berangkat menuju Astina. Dirinya tak sendirian. Wisanggeni mengajak Antasena. Berdua saja. Bergegas menghadap Duryodana.

Tanpa disangka. Di tengah perjalanan. Dihadang Semar dan anak-anaknya. Gareng, Petruk, dan Bagong. Punakawan ini hadir pada saat yang tepat. Tahu posisinya. Selalu berada di samping Pandawa. Saat mereka membutuhkan. Meski yang didarmabaktikan. Tidak selalu sesuai dengan kehendak junjungannya. Tetapi berbagai hal yang tidak diinginkan oleh Pandawa perlu disampaikan dengan gagah berani. Meski bosnya memiliki tujuan lain. Bila tujuan lain tak benar. Punakawan wajib mengingatkan, agar pimpinan yang mereka sayangi tidak salah jalan.

Benar saja. Semar menghadang Wisanggeni mempunyai niat berseberangan dengan Antasena dan Wisanggeni. Semar berusaha untuk menggagalkan rencana Wisanggeni. Bukan untuk Semar. Namun untuk kebaikan Wisanggeni sendiri. Pertimbangan Semar mengurungkan kehendak baik dari Wisanggeni karena terlalu berat dilakukan sendiri. Urusan kenegaraan menyangkut hak ambil alih kerajaan merupakan urusan keluarga besar. Maka perlu dipikul secara bersama. Tak boleh dilakukan dengan sendirian.

Bagi Semar tujuan baik dilakukan dengan pertimbangan tidak matang. Pengalaman menunjukkan hasilnya kadang tidak seperti yang diharapkan oleh Wisaanggeni. Dasar ini yang menjadikan Semar berani menghalang-halangi Wisanggeni. Saran Semar pulang dulu. Diskusikan dengan keluarga besar Pandawa. Sudah saatnya atau masih menunggu waktu untuk mengambil alih kerajaan Astina. Kalau memang seluruh keluarga besar Pandawa sepakat. Seluruh rakyat mendukung. Oke. Seluruh elemen Pandawa. Petinggi kerajaan. Punggawa. Abdi dalem. Rakyat. Bersatu untuk mengambil alih Astina.  Berangkat dengan kekuatan melimpah.

Dan ternyata keluarga besar bilang belum saatnya. Rakyat juga memberi saran. Nanti-nanti dulu. Tujuan Wisanggeni perlu dibatalkan. Wisanggeni perlu bersabar. Jangan sekarang. Menunggu saat tepat menagih hak Astina.

Belum lagi Semar usai memberi wejangan pada Wisanggeni dan Antasena. Datang raksasa bernama Dewangkara. Rupanya raksasa ini mendengar saran Semar pada Wisanggeni. Tanpa bertegur sapa pada Semar dan anak-anaknya. Tanpa basa-basi pada Wisanggeni. Langsung menyerang Wisanggeni dan Antasena. Pertempuran terjadi. Ternyata Wisanggeni dan Antasena bukan lawan tanding Dewangkara. Wisanggeni dan Antasena terdesak.

Tahun akan kalah. Dalam waktu singkat. Secepat kilat. Semar terbang ke kahyangan untuk minta senjata. Bila sudah diperoleh akan diberikan pada Wisanggeni dan Antesena. Setelah memperoleh senjata yang diinginkannya. Semar kembali di tempat pertempuran. Hampir saja Wisanggeni dan Antasena kalah. Lagi-lagi. Semar datang pada saat yang tepat. Saat keluarga Pandawa. Termasuk saat Wisanggeni dan Antasena membutuhkannya.

Senjata diserahkan pada Wisanggeni. Tidak menyia-nyiakan pemberian senjata yang diberikan oleh Semar. Wisanggeni menggunakan pusaka untuk meladeni serangan Dewangkara. Dengan senjata itu merupakan tambahan amunisi untuk melawan Dewangkara. Energi Wisanggeni tambah kuat. Di tengah kekuatan Wisanggeni terus bertambah. Dewangkara kurang cermat menahan serangan Wisanggeni. Pusaka menusuk dada Dewangkara. Tembus sampai jatung.

Anenhnya setelah terluka. Dewangkara tidak mati. Karena senjata itu. Membuat Dewangkara berubah wujud. Ternyata Dewangkara merupakan penjelmaan dari Bathara Guru. Untuk menuntaskan rasa penasaran. Semar konfirmasi pada Bathara Guru. Makud dan kehendak Bathara Guru berubah menjadi raksasa dan menyerang Wisanggeni.

Bathara Guru pun mampu mengobati rasa penasaran Semar dengan jawaban merubah dirinya menjadi raksasa dan menyerang Wisanggeni, sebenarnya tidak ada niat untuk membunuh. Niat dari Bathara Guru memberi pelajaran pada Wisanggeni dan Antasena. Ada tugas besar yang sesungguhnya perlu dijalankan Wisanggeni dan Antasena. Yaitu membunuh Bathara kala dan Bethari Durga karena merupakan simbol angkara murka. Sehingga kalau Wisanggeni dan Antasena berhasil membunuh Bathara Kala dan Bethari Durga. Memiliki kemanfaatan lebih besar. Mencegah angkara murka berkembang baik yang bisa menghancurkan bumi.  Dibanding menghentikan bharatayuddha. Kalau bharatayuddha memang terjadi biarlah menjadi skenario kehidupan.

Yakinlah…! Kebenaran dapat menemukan jalan. Kebenaran akan memenangkan pertarungan. Kebathilan  akan menemui ajalnya. (6, bersambung)

******

Oleh: Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.