TIMES JOGJA, JAKARTA – style="text-align:center">“Jika Republik Pertiwi harus berdarah kembali, maka berdarahlah sekali lagi dan jadikan itu yang terakhir. Ingat, dirimu terlahir ke dalam dunia Negara Bangsa bukan hanya persoalan hubungan biologis dari ayah dan ibumu. Melainkan ialah perjuangan ideologis para leluhur – kita terlahir dari rahim revolusi! ”
***
Mencermati perkembangan dinamika politik di Republik Indonesia dan beraneka harapan dari sorot mata ibu-ibu yang khawatir akan masa depan anak-anaknya membuat saya melemparkan tanya: apa yang terlewatkan dari semangat konstelasi politik para elit menuju pemilu raya 2024? Ketika mereka sedang fokus dan hanya fokus menciptakan skema pemenangan, taktik menjatuhkan lawan, dan strategi menarik keuntungan (dukungan luas dari masyarakat dan finansial besar dari investor). Tentu bukanlah tentang perubahan, bukan mengenai keberlanjutan, bukan perihal siapa yang dimentori siapa, bukan perkara siapa yang direstui oleh siapa, dan bukan pula siapa dimimpikan oleh siapa.
Menarik sedikit ke belakang, tepatnya beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mengatakan akan cawe-cawe dalam pemilu 2024 dengan alasan kedaruratan Negara. Jika dicermati secara sungguh-sungguh, terdapat sesuatu yang sangat penting dalam pernyataan tersebut nan terletak pada bagian “sebab” namun berbanding terbalik pada bagian “akibat”.
Ada banyak persepsi dan perspektif terhadap pernyataan tersebut, mengingat beliau adalah Presiden, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang tidak ada pendapat dari dirinya selama menjabat, melainkan keterangan yang jelas dan keputusan. Untuk itulah setiap Presiden dan seluruh pengisi trias politica lainnya difasilitasi dan diberikan otoritas oleh masyarakat.
Sehingga dalam hemat saya, cawe-cawe pada bagian sebab merupakan sebuah keterangan jelas dengan muatan kejujuran konfirmatif bahwa Republik Indonesia belum terjalankan sebagaimana mestinya. Sedangkan pada bagian akibat, cawe-cawe adalah keputusan dengan berbagai kemungkinan yang telah para pengamat uraikan di media – pro dan kontra.
Nampaknya publik tergiring ke sebuah titik buta secara berulang, pembiasan dikotomi bahwa Presiden juga anggota partai politik. Sekilas terkesan logis, sebagai anggota partai politik, tentulah harus tetap berpolitik, atau setidaknya masih boleh menggunakan haknya untuk berpolitik.
Jika memang harus begitu aturan mainnya, maka boleh-boleh saja. Tetapi apakah kita sudah siap dengan konsekuensi, menciptakan kepemimpinan setiap Presiden kedepannya, selaku pemimpin tertinggi dalam struktur negara bangsa modern terlihat konyol sepanjang hidupnya karena berhadapan vis a vis dengan warga negaranya sendiri? Hanya karena dirinya harus dipaksa membelah diri; menjadi pemimpin tertinggi pada satu sisi dan menjadi anggota partai paling setia secara bersamaan dalam satu tarikan nafas ruang dan waktu.
Bagaimanapun narasi pembenaraan melaju ke depan untuk melindungi kondisi sesungguhnya. Setiap akal budi dan hati nurani yang terhubung dengan konstitusi nan diperjuangkan dengan pengobaran dan pengorbanan jiwa raga para pendahulu senantiasa dapat menyingkap kondisi telanjang. Dan yang jelas, sejarah terus bekerja untuk mencatat dan anak cucu di tahun 2045 akan melihat. Maka masuklah kita pada bagian yang terlewatkan dari semangat konstelasi politik para elit menuju pemilu raya 2024 – pembiaran atas terjadinya inkursi Negara bangsa.
Inkursi Negara bangsa saya maksudkan bukanlah perihal tabrakan antara dua ruang dan waktu dalam “The Matrix”, bukan pula tabrakan dua semesta dalam multi semesta. Melainkan tabrakan dua realitas akibat dari linivalue (garis nilai) terhadap konstitusi di Nusantara. Dan mereka, para elit dan oligarki bersantai ria di menara gading. Mungkin tidak hanya berdiam diri, melainkan merekalah pelakunya.
Realitas pertama, saya telah menapaki antar pemukiman warga, dari kota terluar hingga desa yang tak sudi keluar, dari Ibu Kota hingga orang-orang yang tidak pernah ke kota seumur hidupnya. Yang ditemukan adalah pembodohan, perampasan dan kemiskinan terstruktur. Potret dari warga negara dalam kondisi terpahit untuk terus berjuang melawan lapar, mencari penghidupan dan tetap harus membayar pajak. Saya yakin anda juga menemukannya.
Apabila terjadi satu keputusan demi menutupi dampak buruk satu kebijakan, katakanlah semisal kenaikan harga BBM Rp1 saja, masyarakat akan tertatih menata ulang kehidupan sosialnya, beradaptasi dan tetap menjunjung kewajiban warga negaranya sejak telahir ke dunia karena telah diaktakan. Pengangguran bertambah akibat pengurangan beban oleh berbagai badan usaha, peningkatan kriminalitas dan merenggangnya nilai gotong royong (satu sama lain terpaksa kejam demi keberlangsungan hidup), keluarga-keluarga harus melakukan rotasi (bergantian) dalam memperoleh pendidikan karena keterbatasan biaya dan lainnya.
Sedangkan realitas kedua, suburnya korupsi oleh para pejabat negara, dari pembantu istana hingga desa, pejabat politik hingga birokrat – di legislator, yudikator, dan eksekutor. Terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah pelaku maupun jumlah kerugian negara (silahkan akses sendiri data mengerikan itu).
Kendati demikian, linivalue antara warga negara dengan pejabat negara yang menjauhkan kehadiran negara dari warganya kian hari kian menemukan titik persinggungannya. Artinya pernyataan John F. Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang Negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada Negara” nan kerap dikutip para pengisi trias politica repbulik ini tidak lagi relevan untuk Indonesia di usianya menjelang 1 abad.
Mungkin yang berlaku adalah jangan lagi tanyakan apa yang dapat masyarakat perbuat untuk negaranya. Melainkan, tanyakanlah pada dirimu sendiri apakah engkau merasakan kehadiran negara. Tanyakanlah apakah para pejabat negara masih berkomitmen mewujudkan cita dan cinta negara!
***
*) Oleh: Al Mukhollis Siagian, Penggagas Neo-Konsepsi Trias Politica.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |