TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan, baik swasta maupun BUMN, kembali menjadi sorotan publik. Tindakan ini dianggap merugikan pekerja dan dinilai melanggar hukum serta hak asasi manusia (HAM).
Pakar Hukum Ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Murti Pramuwardhani Dewi, menegaskan bahwa penahanan dokumen pribadi seperti ijazah oleh pemberi kerja tidak bisa dibenarkan. Ia menyebut, tindakan ini sudah lama terjadi namun terus berlangsung karena lemahnya pengawasan serta ketakutan pekerja untuk melapor.
"Sering kali pekerja merasa tidak punya pilihan selain menerima kebijakan perusahaan, meskipun itu melanggar hak mereka. Penahanan ijazah jelas bentuk pelanggaran terhadap hak identitas pribadi," ujar Murti, Rabu (4/6/2025).
Murti mengungkapkan bahwa memang tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun larangan penahanan ijazah sudah ditegaskan dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2005. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa perusahaan tidak diperkenankan menahan ijazah maupun dokumen pribadi milik karyawan.
Menurut Murti, relasi kuasa antara pekerja dan perusahaan kerap kali tidak seimbang. Perusahaan memanfaatkan posisi tawarnya, sementara pekerja enggan protes karena khawatir kehilangan pekerjaan.
“Kalau dokumen rusak atau hilang saat berada di tangan perusahaan, pekerja punya hak menuntut ganti rugi. Ini bukan masalah sepele,” tegasnya.
Ia menyarankan, sebelum hubungan kerja dimulai, sebaiknya dibuat perjanjian kerja secara tertulis yang mencerminkan kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian itu harus disusun berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak yang mematuhi hukum, norma kesusilaan, dan ketertiban umum.
“Dalam prinsip hukum, perjanjian yang telah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda,” jelasnya.
Murti menambahkan, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang belum ideal. Ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan kerja membuat pekerja sering berada dalam posisi yang lemah.
“Karena persaingan kerja sangat ketat, banyak yang akhirnya menerima saja praktik-praktik semacam ini,” ucapnya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi dan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik penahanan dokumen pribadi oleh perusahaan.
“Sudah saatnya ada langkah konkret agar hak-hak pekerja lebih terlindungi,” pungkasnya.
Senada dengan Murti, Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM, Prof. Dr. Susetiawan, S.U., menyampaikan bahwa ijazah merupakan simbol keberhasilan individu dan hak privat yang tidak boleh dikuasai pihak lain.
“Ijazah itu hak pribadi. Kalau rusak atau hilang karena ditahan perusahaan, sangat sulit untuk mendapat pengganti. Kalau pun perusahaan butuh bukti, cukup minta fotokopi legalisir atau melihat aslinya, lalu segera dikembalikan,” ujarnya.
Susetiawan juga menekankan pentingnya pengawasan hukum agar perusahaan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Menurutnya, perlindungan hukum menjadi kunci utama dalam menciptakan hubungan kerja yang adil dan manusiawi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Penahanan Ijazah oleh Perusahaan, Pakar UGM: Ini Melanggar Hak Pekerja
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Deasy Mayasari |