TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Kontroversi tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR bukan sekadar soal angka, melainkan cermin bagaimana kekuasaan bekerja atas nama “kelayakan” dan “efisiensi”. Publik mendengar penjelasan resmi: rumah jabatan tak lagi disediakan, maka kompensasi tunjangan diberikan.
Pernyataan itu berulang di berbagai kanal, lengkap dengan justifikasi biaya hidup di sekitar Senayan. Pada tingkat faktual, Sekjen DPR mengonfirmasi besaran tunjangan tersebut untuk periode 2024–2029; beberapa pimpinan dan anggota DPR menegaskan bahwa yang berubah adalah komponen tunjangan, bukan gaji pokok.
Narasi ini berusaha menutup perdebatan dengan kedisiplinan istilah, seakan persoalan selesai pada ranah administrasi. Namun di ruang publik, reaksi keras menunjukkan bahwa persoalan ini justru baru dimulai.
Alasan yang diangkat berikutnya ialah efisiensi anggaran. Biaya pemeliharaan rumah jabatan dianggap membebani, sehingga skema tunjangan tunai dinilai lebih hemat; bahkan disebut telah melalui persetujuan otoritas fiskal.
Pada level kebijakan, ini tampak rapi: ada rasionalitas pembiayaan, ada otorisasi, ada logika substitusi aset menjadi uang. Tetapi keteraturan administratif bukanlah padanan dari legitimasi etis; apalagi ketika komunikasi kebijakan ini tidak didahului deliberasi yang bermakna dengan warga, dan tak disertai model pengendalian moral hazard yang ketat (misalnya berbasis reimburse nyata sesuai bukti sewa dan batas wajar pasar).
Ketika absennya mekanisme partisipasi dan pengawasan publik disamarkan sebagai “teknis anggaran”, yang terjadi adalah penyusutan makna musyawarah menjadi sekadar persetujuan prosedural.
Dari perspektif etika jabatan publik, problem utamanya adalah konflik kepentingan. DPR adalah aktor yang menikmati manfaat langsung dari kebijakan yang ia proses dan suarakan.
Dalam etika pemerintahan yang sehat, keputusan soal remunerasi pejabat legislatif idealnya ditangani oleh otoritas independen, dengan parameter transparan, basis pembanding yang jelas, dan uji kepantasan sosial. Ketika DPR memposisikan diri sekaligus sebagai pembuat, penerima, dan pembela kebijakan, prinsip keadilan prosedural melemah.
Keadilan prosedural tidak hanya mensyaratkan aturan; ia menuntut jarak institusional yang memadai agar keputusan tidak tercemar kepentingan penerima manfaat. Bahwa besaran gaji pokok tidak naik bertahun-tahun bukanlah argumentasi etis yang otomatis membenarkan lonjakan fasilitas; etika publik menilai kepatutan dengan menimbang dampak pada kepercayaan, persepsi keadilan distributif, dan prioritas belanja negara yang menyentuh hajat hidup banyak orang.
Jika dilihat menggunakan lensa Steven Lukes tentang “tiga dimensi kekuasaan”, kebijakan ini memperlihatkan setidaknya dua lapisan. Pada dimensi pertama, ada kekuasaan keputusan; penetapan tunjangan Rp50 juta sebagai pilihan kebijakan yang nyata.
Pada dimensi kedua, ada kekuasaan non keputusan; penjagaan agenda agar isu yang diperdebatkan publik bukan “apakah kita butuh mekanisme independen dan transparansi granular”, melainkan “gaji naik atau tidak”, sebuah pengerdilan isu yang menguntungkan status quo.
Pada dimensi ketiga, yang paling subtil, diskursus “wajar dan masuk akal” berupaya membentuk preferensi masyarakat bahwa kompensasi setara pasar adalah keniscayaan bagi pejabat, alih-alih sebuah pilihan politis yang harus selalu diuji kepatutannya.
Pada wilayah teori kritis Habermas, kita menyaksikan pergeseran dari rasionalitas komunikatif ke rasionalitas instrumental. Rasionalitas komunikatif menuntut argumen diuji di ruang publik yang inklusif, bebas dominasi, dan berorientasi pada kepahaman bersama.
Yang terjadi justru kolonisasi ruang publik: bahasa teknokratis efisiensi dan kelaziman pasar merangsek menggantikan bahasa kepentingan warga. Ketika warga menuntut keadilan distributif dan sensitivitas terhadap kondisi ekonomi keluarga pekerja, wacana resmi merespons dengan matriks biaya dan nomenklatur tunjangan.
Komunikasi kebijakan bergeser dari dialog normatif ke pengelolaan persepsi, dari deliberasi ke publikasi. Inilah tanda kolonisasi; ruang publik tidak lagi menjadi arena timbal balik argumentatif, melainkan lanskap penerimaan informasi yang dirancang untuk meminimalkan resistensi.
Foucault membantu kita membaca lapisan lain: normalisasi melalui wacana resmi. Dengan mengulang bahwa besaran Rp50 juta hanyalah kompensasi, bahwa gaji pokok kecil, bahwa ada preseden dan persetujuan, aparat wacana membentuk rezim kebenaran; suatu horizon “yang bisa diterima” tanpa membuka medan kontestasi tentang standar etik pejabat publik dalam masyarakat berketimpangan.
Sementara Bourdieu mengingatkan bahwa yang dipertarungkan bukan hanya materi, melainkan modal simbolik dan doxa: siapa yang berhak mendefinisikan apa itu wajar bagi pejabat?
Ketika definisi kewajaran dimonopoli oleh mereka yang berkepentingan, doxa menjadi alat pelapisan jarak sosial yang menormalisasi jarak hidup antara elite dan warga sebagai sesuatu yang tak terhindarkan.
Kolonisasi ruang publik selalu menghasilkan distorsi komunikasi. Respons pejabat yang mereduksi kritik publik menjadi “kesalahpahaman” atau “hoaks gaji naik” mengalihkan sorotan dari substansi etik ke semantik administrasi. Padahal substansinya justru di situ: kepatutan.
Dalam demokrasi yang sehat, kepatutan tidak dibangun dari akrobat istilah, melainkan dari kerangka akuntabilitas yang memungkinkan warga menilai, mempertanyakan, dan, bila perlu; mengoreksi keputusan yang menguntungkan pejabat. Menyebut tunjangan sebagai “bukan gaji” sah dalam klasifikasi fiskal, tetapi tidak otomatis menutup perkara keadilan sosial dan integritas representasi.
Solusi harus dimulai dari pemulihan ruang publik sebagai arena rasionalitas komunikatif. Secara kebijakan, moratorium penerapan tunjangan flat adalah langkah minimal sambil menyiapkan skema berbasis penggantian biaya riil.
Besaran kompensasi seharusnya mengikuti harga sewa rill yang terverifikasi melalui bukti sewa, dengan batas atas regional yang dievaluasi periodik oleh lembaga independen.
Semua pembayaran harus ditelusuri secara daring; real time, dalam dasbor keterbukaan yang bisa diakses publik; alamat properti dirahasiakan demi keamanan, tetapi nilai sewa, masa kontrak, dan penyedia layanan diverifikasi auditor yang benar-benar independen.
Pelanggaran administratif dikenai sanksi finansial dan etik yang tegas, termasuk pemotongan tunjangan dan publikasi nama secara resmi (name and shame) guna membangun efek jera.
Pada tingkat tata kelola, keputusan remunerasi pejabat legislatif mesti dikeluarkan dari tangan penerimanya. Bentuklah komisi remunerasi independen dengan mandat hukum yang kuat, beranggotakan ekonom kebijakan, auditor publik, akademisi etika, dan perwakilan warga yang dipilih melalui mekanisme undian warga (sortition) untuk menghindari kooptasi.
Komisi ini merumuskan formula, misalnya; indeks terhadap median upah profesional sektor publik serta prosedur evaluasi dampak etik sebelum setiap kenaikan. Setiap perubahan harus melewati dengar pendapat publik yang substansial, bukan sekadar uji materi administratif, agar rasionalitas komunikatif kembali menjadi prasyarat legitimasi.
Dimensi kinerja tak boleh diabaikan. Remunerasi yang pantas harus dibarengi metrik kontribusi yang jelas: kehadiran, kualitas legislasi yang terukur, tindak lanjut pengawasan, keterlibatan konstituen.
Bukan untuk mengubah mandat representasi menjadi “upah borongan”, melainkan untuk memulihkan keseimbangan antara hak istimewa jabatan dan beban tanggung jawabnya.
Di sisi komunikasi, lembaga legislatif perlu berhenti memanen bahasa teknokratis sebagai tameng. Sebaliknya, bukalah dialog dua arah yang menyodorkan opsi, konsekuensi, dan alasan moral di balik setiap rupiah tunjangan, bukan sekadar mengumumkan keputusan.
Pertarungan ini bukan tentang memiskinkan pejabat, melainkan menagih koherensi antara simbol dan tindakan. DPR adalah institusi simbolik dari kedaulatan rakyat. Jika simbol itu disandera oleh logika instrumental dan kenyamanan internal, maka kedaulatan hanya tinggal slogan.
Mengembalikan kebijakan tunjangan ke rel etika publik melalui mekanisme independen, transparansi granular, partisipasi bermakna, dan pengawasan yang punya gigi, adalah cara paling konkret untuk menghentikan kolonisasi ruang publik, merawat kepercayaan, dan membuktikan bahwa demokrasi Indonesia bukan sekadar tata bahasa prosedur, melainkan praktik keadilan yang hidup.
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |