https://jogja.times.co.id/
Opini

Kemiskinan Ekstrem Menyusut Lahir Ketimpangan

Jumat, 22 Agustus 2025 - 21:38
Kemiskinan Ekstrem Menyusut Lahir Ketimpangan Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Kemiskinan masih menjadi isu fundamental pembangunan di Indonesia. Meski telah mengalami tren penurunan signifikan dalam dua dekade terakhir, tantangan struktural yang melingkupinya belum sepenuhnya terselesaikan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2025 tingkat kemiskinan nasional berada di angka 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa.

Angka ini merupakan capaian terendah dalam 20 tahun terakhir, sekaligus menegaskan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan menunjukkan hasil nyata. 

Bahkan, kemiskinan ekstrem yang sebelumnya menjadi momok menurun drastis dari 1,26 persen pada Maret 2024 menjadi 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta orang pada Maret 2025.

Meskipun begitu, kondisi ini tidak bisa membuat kita berpuas diri. Jika ditelisik lebih dalam, disparitas masih terlihat jelas antara wilayah perdesaan dan perkotaan. 

Di desa, angka kemiskinan turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen, dengan jumlah penduduk miskin berkurang dari 13,01 juta menjadi 12,58 juta orang. 

Sebaliknya, di wilayah kota justru terjadi kenaikan dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen, sehingga jumlah penduduk miskin bertambah menjadi 11,27 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa urbanisasi dan dinamika biaya hidup di perkotaan menimbulkan beban baru bagi masyarakat, terutama kelompok rentan yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak menentu.

Kenaikan garis kemiskinan nasional per kapita per bulan menjadi Rp609.160 pada Maret 2025 juga menjadi catatan penting. Angka ini meningkat sekitar 2,34 persen dibanding September 2024, seiring dengan penyesuaian harga kebutuhan pokok. 

Artinya, sebuah keluarga miskin dengan rata-rata anggota 4–5 orang membutuhkan pengeluaran minimal Rp2,8–2,9 juta per bulan untuk bisa dikategorikan tidak miskin. 

Dari sisi ketimpangan, terdapat kabar baik. Gini Ratio nasional per Maret 2025 tercatat 0,375, menurun dibanding 0,381 pada September 2024. Ini berarti distribusi pendapatan sedikit lebih merata, meski tantangan kesenjangan tetap besar. 

Ketimpangan spasial juga masih mencolok, provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi adalah Papua Pegunungan (30,03 persen), sedangkan yang terendah adalah Bali (3,72 persen). 

Perbedaan ini menunjukkan bahwa pola kebijakan pengentasan kemiskinan harus kontekstual, karena kebutuhan dasar dan potensi ekonomi setiap daerah berbeda-beda.

Penurunan angka kemiskinan ini tentu tidak lepas dari berbagai program pemerintah, mulai dari bantuan sosial, penguatan sektor pertanian, pemberdayaan UMKM. Namun, keberlanjutan program ini sangat penting agar masyarakat miskin tidak sekadar “keluar” dari garis kemiskinan secara statistik, tetapi juga mampu membangun resiliensi dan kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil.

Maka, meski penurunan kemiskinan hingga titik terendah dalam sejarah patut diapresiasi, pekerjaan rumah bangsa ini belum selesai. Fokus ke depan harus diarahkan pada penguatan jaring pengaman sosial di perkotaan, pemberdayaan ekonomi lokal di perdesaan, serta intervensi khusus di wilayah dengan kemiskinan tinggi seperti Papua. 

Pengentasan kemiskinan juga tidak bisa berhenti pada dimensi ekonomi saja, melainkan harus diperluas ke aspek pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Dengan pendekatan yang adil, adaptif, dan berkelanjutan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

***

*) Oleh : Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.