https://jogja.times.co.id/
Hukum dan Kriminal

DPC Peradi Gerakan Bantul Kritik Keras RKUHAP 2025

Senin, 21 Juli 2025 - 18:00
DPC Peradi Gerakan Bantul Kritik Keras RKUHAP 2025 Ketua DPC Peradi Gerakan Bantul Sigit Fajar Rahman. (Foto: istimewa)

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Ketua DPC Peradi Gerakan Bantul, Sigit Fajar Rahman, menyatakan keprihatinan sekaligus penolakan tegas terhadap proses dan substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang dinilai tergesa-gesa dan tidak berpihak pada keadilan. Menurutnya, RKUHAP versi saat ini justru bertolak belakang dengan semangat reformasi hukum pidana yang diusung dalam KUHP Nasional.

“RKUHAP ini bukan hanya gagal mengintegrasikan nilai-nilai progresif KUHP baru, tetapi juga berpotensi memperkuat kekuasaan koersif aparat penegak hukum serta mengabaikan prinsip keadilan prosedural,” tegas Sigit, Senin (21/7/2025).

Sigit menilai RKUHAP tidak sinkron dengan semangat KUHP Nasional karena masih mengedepankan pendekatan represif dan formalis. Prinsip-prinsip pemidanaan modern seperti keadilan restoratif, alternatif pemidanaan, serta perlindungan terhadap martabat manusia tidak tercermin dalam rancangan tersebut.

Ia juga menyoroti celah penyalahgunaan wewenang yang terbuka lebar, termasuk penyelidikan rahasia seperti undercover buy dan controlled delivery tanpa pengawasan yang memadai, serta minimnya kontrol yudisial atas penahanan dan penetapan tersangka yang dapat melanggar prinsip habeas corpus.

Menurutnya, rancangan ini melemahkan prinsip check and balances, karena penahanan, penggeledahan, hingga pemblokiran data dapat dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif penyidik.

Lebih lanjut, Sigit menilai RKUHAP menggerus hak tersangka dan melemahkan peran advokat. Hak atas pendampingan hukum tidak dijamin secara eksplisit, dan tidak ada aturan tentang akses advokat terhadap bukti dan berkas perkara, yang merupakan bagian penting dari prinsip kesetaraan dalam hukum acara.

Konsep keadilan restoratif juga dinilai kabur. Mekanisme restorative justice diatur sejak tahap penyelidikan tanpa perlindungan memadai bagi korban, bahkan disyaratkan dengan pencabutan laporan yang dapat membatasi hak korban atas keadilan substansial.

Sigit menyebut RKUHAP juga membatasi hak praperadilan karena hampir semua upaya paksa tidak bisa diuji secara yudisial jika telah mendapat izin sebelumnya. Ketentuan ini berisiko menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan.

RKUHAP dinilai tidak mampu menjawab tantangan zaman karena tidak mengatur penggunaan teknologi informasi dalam seluruh proses peradilan serta tidak menetapkan hukum acara yang relevan terhadap subjek hukum korporasi.

Selain itu, Sigit menilai RKUHAP mengabaikan pengaturan pidana adat dan perlindungan lingkungan hidup. Tidak ada mekanisme pembuktian terkait pidana adat, dan tidak diatur perlindungan hukum bagi pembela lingkungan. Dominasi kewenangan penyidikan oleh Polri juga disebut berpotensi menghambat penyidikan oleh penyidik sektor strategis seperti lingkungan, kehutanan, narkotika, dan perikanan.

Sigit juga mengkritisi proses penyusunan RKUHAP yang minim partisipasi publik. Menurutnya, kelompok masyarakat terdampak seperti korban salah tangkap atau korban penyiksaan tidak diberi ruang untuk menyampaikan pengalaman dan pandangan.

“Partisipasi bermakna adalah syarat konstitusional dalam pembentukan undang-undang. Mengabaikannya adalah pelanggaran terhadap asas keterbukaan,” ujarnya.

Ia mengkritik keterlibatan akademisi dan pakar hukum yang hanya dijadikan pelengkap administratif dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah, tanpa peran substantif dalam pembahasan norma.

Sigit juga mengingatkan bahwa RKUHAP akan mulai berlaku pada awal Januari 2026, namun peraturan pelaksanaannya belum disiapkan. Hal ini berisiko menimbulkan kekacauan implementasi hukum karena kekosongan norma selama masa transisi.

Untuk itu, DPC Peradi Gerakan menyampaikan tiga tuntutan utama. Pertama, Presiden dan DPR diminta menghentikan pembahasan RKUHAP dan mengembalikannya ke proses yang lebih transparan, partisipatif, dan berbasis bukti.

Kedua, menyusun ulang RKUHAP secara substansial dengan melibatkan akademisi, lembaga independen, masyarakat sipil, dan kelompok korban. Ketiga, mendorong harmonisasi menyeluruh antara KUHP dan KUHAP agar sistem hukum pidana nasional menjadi lebih adil, modern, dan konstitusional.

“Kami tidak menolak pembaruan hukum acara, tetapi ingin memastikan bahwa yang dilahirkan adalah hukum acara yang adil, melindungi hak warga negara, dan membatasi kekuasaan negara secara seimbang,” tutup Sigit. (*)

Pewarta : Soni Haryono
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.