TIMES JOGJA, TASIKMALAYA – Pagi itu, kabut masih setia menyelimuti Kampung Bunar, Desa Sukapada, Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya.
Di tengah dinginnya udara pagi, seorang pria tampak sibuk menghentikan motor bebeknya yang telah dimodifikasi untuk membawa puluhan batang bambu lodong sadapan. Motor itu, meskipun tampak usang tanpa penutup bodi, menjadi saksi setia perjuangan Mang Tatang Yusuf Sidik, seorang perajin gula aren yang tangguh.
Lahir pada 1994, Mang Tatang telah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan ini. Setiap pagi, setelah menunaikan salat subuh, ia berangkat menuju pohon-pohon aren di kawasan Gunung Cakrabuana.
Di sana, puluhan batang bambu lodong yang dipasang sejak sore menanti untuk diganti dengan yang baru. Air nira yang terkumpul menjadi harapan untuk keberlangsungan hidup keluarganya.
Puluhan batang bambu lodong siap untuk dipasangkan kembali usai di air dituangkan pada wajan penggodogan. (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Namun, perjuangan Mang Tatang tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan terbesar yang harus ia hadapi adalah gangguan kawanan Tupai (Scandentia), yang sering merusak pucuk pohon aren.
“Nya ayeuna nuju usum bajing, nyogotan pucuk tangkal kawung, janteun kana cai lahangna ge janteun garing,” ungkap Mang Tatang dengan nada prihatin saat ditemui di saung pengolahan gula aren miliknya. (Saat ini sedang musim tupai, mereka menggerogoti pucuk pohon aren, sehingga air niranya menjadi kering.),"ungkap Tatang
Tupai-tupai yang tinggal di kawasan Gunung Cakrabuana sering menyerang pohon aren dengan menggigiti tempat keluarnya nira. Tak hanya itu, mereka juga terkadang mengencingi batang bambu sadapan, membuat air nira tak bisa lagi diolah menjadi gula.
Namun, Mang Tatang tidak menyerah. Dengan penuh ketelitian, ia terus menjaga kebersihan lodong dan pohon aren.
“Nya ngajengkelkeun pisan, tapi da bade kumaha deui atuh, nu puguh mah urang we nu kudu apik jeung tarapti, da pangintteun bajing oge hayang barang hakan,” katanya dengan nada pasrah namun bijaksana. (Memang menjengkelkan, tapi mau bagaimana lagi, yang penting kita harus teliti dan apik, mungkin tupai juga hanya mencari makan.)
Setiap pagi, sekitar pukul 07.00 WIB, Mang Tatang kembali mengangkut puluhan batang bambu yang telah dipasang sejak 10 hingga 12 jam sebelumnya. Di rumah sederhana yang ia tinggali bersama istrinya, Umi Kulsum, dan tiga putrinya, nira tersebut kemudian diproses menjadi gula aren melalui proses perebusan selama empat jam.
“Alhamdulilah kita tekuni aja, Tuhan kan telah memberikan rejeki kepada masing-masing,” ujar Umi Kulsum dengan senyum penuh syukur.
Dari jerih payah ini, mereka mampu memproduksi sekitar 15 hingga 20 kilogram gula aren per hari, yang kemudian dijual kepada bandar dengan harga Rp20.000 per kilogram. Hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Gangguan hama tupai tidak hanya dirasakan oleh Mang Tatang, tetapi juga oleh perajin gula aren lainnya di kawasan ini. Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Bunar, Dudung Muhaemin, menjelaskan bahwa serangan tupai terjadi akibat rusaknya ekosistem alami mereka.
“Sebagian lahan sudah tidak nyaman akibat ketersediaan makanannya habis dan terganggu,” ungkapnya.
Dudung berharap pemerintah lebih memperhatikan kondisi perajin gula aren, terutama karena mereka turut berperan dalam mendukung program ketahanan pangan. “Kami berharap ada solusi, baik berupa pelestarian ekosistem hutan maupun program pendukung lain, agar produksi gula aren tidak terus-menerus terganggu,” tambahnya.
Gula Aren: Warisan Lokal yang Harus Dilestarikan
Gula aren merupakan salah satu produk lokal yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan. Namun, tantangan seperti hama tupai dan perubahan ekosistem menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan para perajin gula.
Ratusan pohon aren nampak berderet di Kawasan Gunung Cakrabuana Kabupaten Tasikmalaya,(FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Perjuangan Mang Tatang dan keluarganya adalah potret dari kegigihan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam. Dengan kerja keras dan kesabaran, mereka terus berusaha menjaga tradisi dan warisan leluhur, sembari berharap dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi hambatan yang ada.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu mendukung dan melestarikan warisan lokal yang menjadi bagian penting dari identitas dan kehidupan masyarakat.
Semoga langkah-langkah Mang Tatang terus memberikan inspirasi bagi banyak orang, serta membuka jalan untuk masa depan yang lebih baik bagi para perajin gula aren di Indonesia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kisah Perjuangan Mang Tatang, Penyadap Gula Aren di Tengah Ancaman Hama Tupai
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Ronny Wicaksono |