TIMES JOGJA, SLEMAN – Prevalensi stunting di Kabupaten Sleman tahun 2025 turun menjadi 4,2 persen berdasarkan data e-PPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat). Meski mengalami penurunan dari 4,4 persen pada tahun 2024, Dinas Kesehatan Sleman tetap mewaspadai sejumlah faktor penyebab, terutama pola asupan gizi yang tidak adekuat dan kebiasaan merokok di lingkungan keluarga.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dr. Cahya Purnama, M.Kes, menjelaskan bahwa tren penurunan prevalensi stunting menunjukkan hasil positif dari berbagai program intervensi gizi dan edukasi masyarakat.
“Angka stunting di Sleman tahun ini turun menjadi 4,2 persen. Data kami berdasarkan sistem e-PPGBM yang mencakup seluruh wilayah. Ini kabar baik, namun masih perlu perhatian karena faktor penyebabnya belum sepenuhnya tertangani,” ujar Cahya, Selasa (28/10/2025).
Ia menjelaskan, faktor utama penyebab stunting di Sleman masih didominasi oleh asupan gizi yang tidak adekuat pada anak, ibu hamil, dan remaja putri. Pola asuh yang kurang tepat serta kurangnya pemahaman keluarga dalam pemberian makanan bergizi menjadi tantangan tersendiri.
“Pola makan yang benar seharusnya dimulai sejak remaja putri agar tidak anemia, berlanjut saat hamil dengan cukup energi, dan diteruskan setelah melahirkan. Kalau pengasuhan diserahkan ke orang lain, mereka juga harus tahu cara memberi asupan yang benar,” jelasnya.
Selain gizi, kebiasaan merokok dalam rumah tangga juga menjadi salah satu faktor kuat penyebab stunting di Sleman. Berdasarkan data Dinkes, kebiasaan merokok berkontribusi hingga 66,5 persen terhadap kasus stunting.
“Asupan tidak adekuat berkontribusi sekitar 80 persen, disusul perilaku merokok di rumah. Meski angka PHBS meningkat, kebiasaan ini masih berisiko besar. Partikel asap bisa menempel di perabot dan terhirup bayi, menyebabkan gangguan pernapasan berulang yang berujung stunting,” terang Cahya.
Dinkes Sleman mencatat empat kapanewon dengan angka stunting tertinggi tahun ini, yakni Pakem (6,5%), Minggir (6,2%), Seyegan (6,0%), dan Turi (5,9%). Sementara wilayah dengan angka terendah berada di Berbah (3,2%), Gamping (3,4%), Cangkringan (3,6%), dan Mlati (3,3%).
Masalah utama di wilayah dengan prevalensi tinggi adalah keterbatasan air bersih dan sanitasi, yang berdampak pada tingginya kasus diare anak.
Untuk menekan angka stunting, Dinkes Sleman terus mengoptimalkan kelas menyusui, edukasi pemberian makan bayi dan anak, serta program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Selain itu, program Gerakan Keluarga Sehat Bebas Asap Rokok (GASBRO) dan layanan Unit Berhenti Merokok (UBM) juga terus diperkuat.
“Kami ajak masyarakat agar merokok tidak di dalam rumah. Beberapa tempat publik bahkan sudah menyiapkan area merokok yang nyaman. Tujuannya bukan melarang, tapi melindungi keluarga,” tegasnya.
Waspada ISPA saat Musim Pancaroba
Selain isu stunting, Dinas Kesehatan Sleman juga mencatat peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sepanjang Oktober 2025. Lonjakan kasus dipengaruhi kondisi cuaca lembab dan perubahan suhu ekstrem selama musim pancaroba.
“Kasus ISPA tahun ini mencapai 9.417 dengan rata-rata 2.200 kasus per minggu. Ini peningkatan musiman, namun relatif aman karena sebagian besar bersifat ringan dan bisa sembuh sendiri jika daya tahan tubuh baik,” kata Cahya.
Ia mengimbau masyarakat tetap waspada dan menerapkan perilaku hidup bersih, terutama pada kelompok rentan seperti lansia dan penderita penyakit kronis.
“Gunakan masker di tempat ramai, cuci tangan, jaga jarak, dan segera periksa ke fasilitas kesehatan jika demam atau sesak napas. Untuk lansia dan anak-anak, vaksinasi flu sangat dianjurkan,” paparnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Prevalensi Stunting Kabupaten Sleman Turun Jadi 4,2 Persen
| Pewarta | : A. Tulung |
| Editor | : Deasy Mayasari |