TIMES JOGJA, BANTUL – Nada-nada gamelan menggema merdu di bumi Mataram saat puluhan anak dari berbagai kapanewon di Kabupaten Bantul menampilkan kemampuan terbaik mereka dalam Festival Karawitan Anak Antar Kapanewon 2025, Rabu (9/7/2025).
Ajang tahunan yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul ini bukan sekadar kompetisi, melainkan gerakan nyata pelestarian budaya Jawa di tengah arus deras budaya asing yang makin masif menyasar generasi muda.
Dengan mengangkat tema “Ki Tjokrowasito sebagai Maestro Karawitan di Daerah Istimewa Yogyakarta," festival ini menjadi momen penghormatan bagi tokoh karawitan legendaris yang telah mewarnai perjalanan seni tradisi Jawa di kancah nasional maupun internasional.
Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Yanatun Yunadiana, menegaskan bahwa festival ini bukan hanya ajang adu keterampilan seni, tetapi juga bentuk nyata penguatan identitas budaya Yogyakarta, terutama di bidang karawitan yang kini mulai dilirik kembali oleh generasi muda.
“Festival ini menjadi wadah kompetisi terbuka antar kapanewon. Tujuannya bukan sekadar mencari pemenang, tetapi juga mencetak bibit unggul seni karawitan yang akan meneruskan napas budaya lokal,” ungkap Yanatun.
Tiga Maestro, Tiga Perspektif dalam Penjurian
Agar penilaian tetap objektif dan berkualitas, panitia menghadirkan tiga tokoh berpengaruh di dunia karawitan sebagai juri, yakni Dr. Raharja, S.Sn., M.M., P. Suparto, S.Sn., M.A., dan Pardiman Joyonegoro, S.Sn. Ketiganya dikenal luas sebagai akademisi sekaligus praktisi yang telah lama berkecimpung dalam pengembangan seni gamelan dan karawitan di Tanah Jawa.
Selain kategori kelompok, festival ini juga memberikan penghargaan individu seperti pengendang terbaik, penggender terbaik, pembonang terbaik, pengrebab terbaik, hingga sindhen atau vokalis terbaik, yang semuanya menjadi incaran para peserta muda yang antusias tampil di atas panggung.
Wakil Bupati Bantul, Aris Suharyanta, dalam sambutannya menyampaikan bahwa karawitan bukan sekadar seni, melainkan alat untuk membentuk karakter anak, terutama dalam hal kekompakan, kolaborasi, dan kedisiplinan.
“Karawitan itu memerlukan sinergi yang luar biasa. Anak-anak harus bisa menyatu dalam ritme dan tempo. Ini adalah latihan karakter sekaligus bentuk pelestarian budaya yang sangat penting di era digital sekarang,” ujar Aris.
Beliau juga mengapresiasi Dinas Kebudayaan atas penyelenggaraan festival ini dan berharap agar kegiatan seperti ini menjadi agenda rutin tahunan yang terus dikembangkan, bahkan bisa diperluas ke tingkat DIY maupun nasional.
Menjawab Tantangan Budaya Asing Lewat Nada Tradisi
Di tengah derasnya arus budaya populer dari luar negeri yang membanjiri media sosial dan ruang-ruang publik digital, Festival Karawitan Anak ini menjadi jawaban konkret bahwa generasi muda Indonesia, khususnya di Bantul, masih memiliki ruang dan semangat untuk mencintai serta melestarikan budaya leluhur.
Tak sedikit penonton yang merasa haru melihat anak-anak mampu memainkan gamelan dan bersindhen dengan penuh penghayatan. Bahkan, banyak orang tua yang secara langsung mengapresiasi acara ini karena mampu menumbuhkan rasa cinta budaya di usia dini.
“Anak saya jadi semangat latihan gamelan setiap sore. Setelah ikut festival, dia bilang ingin jadi sindhen hebat seperti di TV,” ujar Widi, salah satu orang tua peserta dari Kapanewon Pajangan.
Bantul Menuju Pusat Karawitan DIY
Festival ini tak hanya memunculkan talenta muda karawitan, tapi juga memperkuat posisi Kabupaten Bantul sebagai episentrum baru seni tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Harapan pun menggelora bahwa anak-anak inilah yang akan menjaga api budaya tetap menyala di tengah modernisasi.
Dengan semangat “nguri-uri kabudayan Jawi”, Festival Karawitan Anak Antar Kapanewon 2025 menjadi bukti bahwa seni tradisi tak lekang oleh waktu, bahkan mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi digital saat dikemas dengan tepat, mendalam, dan penuh makna. (*)
Pewarta | : Soni Haryono |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |