TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pemerintah Kota Yogyakarta terus menggencarkan strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih tajam, terukur, dan menyentuh langsung akar persoalan. Wali Kota Yogyakarta, dr. Hasto Wardoyo, menegaskan pentingnya pendekatan berbasis data, wilayah prioritas, dan strategi konkret untuk menurunkan angka kemiskinan di wilayahnya.
Pernyataan ini disampaikan Hasto dalam Forum Group Discussion (FGD) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Yogyakarta yang digelar di Ruang Yudistira, Balai Kota Yogyakarta, Selasa (5/8/2025).
“Angka kemiskinan kita di DIY memang yang terendah secara nasional, tapi bukan berarti kita bisa santai. Target tahun ini turun ke 5,8 persen dari 6,26 persen. Itu butuh kerja keras, fokus, dan strategi yang tepat,” ujar Hasto dalam forum tersebut.
Hasto menjelaskan bahwa pengukuran kemiskinan tidak bisa semata-mata berdasarkan kepemilikan aset. Menurutnya, indikator utama adalah tingkat konsumsi masyarakat.
“Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dari seberapa banyak orang bisa makan, bukan apakah mereka punya rumah bagus atau ternak. Kadang rumahnya megah, tapi kalau makannya kurang, tetap masuk kategori miskin,” tegas politisi PDI Perjuangan ini.
Fokus ke Wilayah Prioritas, Sentuh Langsung Akar Masalah
Wali Kota Hasto menyoroti lima wilayah prioritas yang menjadi kantong kemiskinan, yaitu Kemantren Wirobrajan, Umbulharjo, Gondokusuman, Mergangsan, dan Mantrijeron. Ia meminta agar seluruh pemangku kepentingan memusatkan perhatian di sana dengan pendekatan yang langsung menyasar penyebab utama kemiskinan.
“Kalau SDM dan anggaran terbatas, fokuslah ke tempat yang paling rawan. Cari tahu apakah penyebabnya pengangguran, rendahnya pendidikan, atau minimnya keterampilan. Jangan asal kasih bantuan, tapi obati juga sumber penyakitnya,” tandas Hasto.
Hasto menekankan bahwa penanganan kemiskinan tidak boleh hanya berwujud bantuan konsumtif. Ia mendorong agar upaya pengentasan kemiskinan juga menyasar peningkatan pendapatan dan kemandirian ekonomi masyarakat.
“Seperti penyakit, kita harus kasih ‘paracetamol’ untuk gejalanya, dan juga ‘antibiotik’ untuk sumbernya. Jadi bantuan jalan, tapi pemberdayaan juga harus digenjot,” ungkap mantan kepala BKKBN ini.
UMKM Jadi Motor Penggerak, Fokus ke Rantai Pasok Pariwisata
Menurut Hasto, Yogyakarta bisa meniru model Singapura sebagai pusat distribusi atau reseller dari produk-produk unggulan daerah sekitar. Ia menyarankan agar pelaku UMKM diberi akses ke rantai pasok hotel, ritel, dan sektor wisata lainnya.
“Gula merah dari Kulon Progo, kelapa dari Bantul, kemas di Kota. Jadi produk unggulan. Jangan cuma pelatihan-pelatihan tanpa tindak lanjut. Kalau bisa langsung kontrak UMKM buat sandal, lalu disalurkan ke hotel-hotel. Itu baru nyata!” ujar mantan Bupati Kulon Progo ini.
Hasto juga memberikan penekanan pada pentingnya keberanian dan sensitivitas pemimpin wilayah seperti Lurah dan Mantri Pamong Praja dalam menyentuh langsung realita warga. Ia mengkritik model pembangunan yang terlalu fokus pada proyek fisik tapi melupakan kebutuhan dasar.
“Pembangunan bukan soal bangunan tinggi. Kalau RW dan RT bisa selesaikan soal kemiskinan dan sampah di lingkungannya, Yogyakarta pasti jadi kota unggul,” katanya dengan penuh semangat.
Anggaran dan Program Terpadu: Sinergi Pemerintah dan Swasta
Kepala Bappeda Kota Yogyakarta, Agus Tri Haryono, menyampaikan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di tahun 2024 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu:
- Mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin
- Meningkatkan pendapatan dan produktivitas
- Memperkecil wilayah kantong kemiskinan
Program ini didukung anggaran dari berbagai sumber, yakni:
- APBN (PKH & Sembako): Rp88,9 miliar
- APBD Kota Yogyakarta: Rp92,3 miliar
- APBD DIY: Rp2,8 miliar
- CSR swasta dan LSM
“Angka kemiskinan memang menurun, tapi itu bukan alasan kita lengah. Justru saat inilah sinergi semua pihak harus makin kuat. Pemerintah, swasta, masyarakat—harus bareng-bareng,” tegas Agus.
Inovasi 2025: Satu Keluarga Miskin, Satu Sarjana
Sebagai gebrakan baru tahun 2025, Pemerintah Kota Yogyakarta akan meluncurkan dua program inovatif yaitu Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana dan Orang Tua Asuh untuk Keluarga Miskin.
Keduanya akan diuji coba di Kemantren Wirobrajan sebagai proyek percontohan, melibatkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor non-pemerintah.
“Kita ingin mengangkat keluarga miskin secara berkelanjutan. Pendidikan adalah kunci utama,” tutup Agus.
Dengan pendekatan holistik dan kolaboratif ini, Pemkot Yogyakarta menargetkan penurunan angka kemiskinan secara signifikan di tahun 2025. Tak hanya sekadar menyalurkan bantuan, tetapi benar-benar memberdayakan masyarakat hingga akar permasalahan sosialnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pemkot Yogyakarta Fokus Basmi Kemiskinan dari Akar
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Deasy Mayasari |