TIMES JOGJA, SLEMAN – Langit Sleman bakal dihiasi ratusan layang-layang dari berbagai daerah pada Sleman Kite Festival #01 yang akan digelar pada 4–5 Oktober 2025 di Lapangan Tiban, Kalurahan Sendangmulyo, Kapanewon Minggir, Sleman. Festival perdana ini menjadi bagian dari rangkaian Sleman Creative Weeks 2025, mengusung tema Merayakan Perubahan, Merawat Harapan.

Festival akan menampilkan beragam atraksi, mulai dari eksibisi layang-layang internasional, kompetisi layang-layang tradisional dan kreasi dua dimensi, hingga workshop melukis layang-layang. Puluhan UMKM lokal juga ikut meramaikan dengan stan kuliner tradisional serta produk kreatif masyarakat sekitar. Tak hanya itu, sejumlah pertunjukan seni budaya akan menghadirkan suasana kebersamaan khas Sleman.

“Acara ini juga mendorong kesadaran lingkungan, seluruh area kami usahakan bebas plastik sekali pakai, termasuk seluruh UMKM yang terlibat,” ujar Sonny Nurriyanto, Ketua Panitia Sleman Kite Festival 2025 kepada TIMES Indonesia, Rabu (24/9/2025).

Sonny menambahkan, acara ini terbuka gratis untuk masyarakat umum. Panitia juga masih membuka kesempatan bagi relawan yang ingin terlibat dalam penyelenggaraan festival.

Tradisi Layang-layang di Sleman

Budaya menerbangkan layang-layang bukan hal baru bagi masyarakat Sleman. Sejak puluhan tahun silam, anak-anak hingga orang dewasa kerap memanfaatkan lahan persawahan yang luas dan angin kencang di wilayah utara Sleman untuk bermain layang-layang, terutama saat musim kemarau. Tradisi ini tidak sekadar hiburan, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial antarwarga.

Dalam perkembangannya, komunitas pecinta layang-layang di Sleman mulai terbentuk sejak awal 1990-an, sering mengadakan pertemuan dan lomba kecil di tingkat desa. Kini, melalui Sleman Kite Festival 2025, tradisi tersebut diangkat ke panggung yang lebih besar, sekaligus memperkenalkan Sleman sebagai daerah yang kreatif dan kaya budaya.

“Lewat ratusan layang-layang yang akan terbang di Lapangan Tiban, kita belajar bahwa perubahan adalah angin yang tak bisa dihentikan, tetapi harapan adalah benang yang selalu bisa kita genggam,” pungkas Sonny Nurriyanto. (*)