TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Tantangan perguruan tinggi dan secara spesifik kampus swasta di era disrupsi semakin berat. Tuntutan untuk turut menghasilkan lulusan yang relevan dengan industri di satu sisi dan kebijakan otonomi kampus di sisi yang lain, ternyata juga diiringi dengan ketidakpastian perubahan di era disrupsi digital. Realitas yang muncul ini memberi dampak besar terhadap daya survive kampus swasta, salah satu problematika yang muncul adalah input kuantitas dan kualitas mahasiswa yang kian dekadensi.
Disrupsi digital sendiri dapat dimaknai sebagai kondisi terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena keberadaan berbagai teknologi digital. Perubahan-perubahan tersebut termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti e-commers (digitalisasi dalam sektor jual beli), e-money (digitalisasi sistem pembayaran), dan berbagai sektor lain seperti transportasi, kuliner, dan terutama dalam sektor pendidikan.
Perubahan ini kemudian mempunyai karakteristik yang berbeda pada setiap masa, sekarang di era digitalisasi kita memasuki masa dimana perubahan mempunyai ciri VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguity), dimana keadaan masyarakat menjadi semakin dinamis, cepat berubah, tidak pasti, komplek, dan ambigu.
Pertama, volatilitas (volatile) mengacu pada turbulensi, atau hal yang tidak terduga, suatu perubahan drastis, baik dalam intensitas tinggi maupun lamanya peristiwa. Tantangan yang dapat dibicarakan dalam lingkup perguruan tinggi adalah seperti perubahan kebijakan pendidikan, regulasi pemerintah, perubahan dan pemanfaatan teknologi, dan perubahan kebutuhan mahasiswa terhadap industri.
Perguruan tinggi mendapat tantangan luar biasa terhadap kesenjangan antara lulusan dan kebutuhan pekerjaan di dunia industrial yang sepenuhnya akan beroperasi terhadap kemajuan digital. Pada akhirnya perguruan tinggi harus mampu menyesuaikan setiap perubahan dengan cepat.
Dalam konteks prodi Sastra Indonesia misalnya, tantangan perubahan cepat yang memaksa kebutuhan di sektor industrial menjadi salah satu mekanisme yang perlu diwaspadai. Hal ini lantaran berdasarkan profil lulusan yang hendak dicapai, terdapat beberapa profesi yang berpotensi terdampak atas perubahan tersebut.
Profil lulusan Sastra Indonesia terdiri atas beberapa bentuk yakni akademisi, pelaku sastra, penulis, penyunting, dan jurnalis. Serangkaian profesi tersebut harus mampu beradaptasi dengan keadaan yang semakin terdigitalisasi.
Kedua, ketidakpastian (uncertain) atau tidak adanya prediktabilitas baik dalam isu maupun peristiwa dan kurangnya stabilitas tidak memungkinkan para pemimpin untuk melihat ke masa lalu sebagai panduan bagaimana memprediksi peristiwa di masa depan. Dalam kerangka inilah, perguruan tinggi sering menghadapi ketidakpastian dalam hal perubahan demografis, tren pekerjaan masa depan, perkembangan teknologi, dan kebutuhan pendidikan.
Sebagai contoh, hari ini dengan skema otonomi kampus, di satu sisi telah memberi kesempatan bagi setiap kampus untuk menambah daya dorong bagi modalitas pergerakan struktural kampus. Namun di sisi yang lain, hal ini berdampak besar terhadap potensi kenaikan biaya kuliah, UKT, hingga depresiasi kuantitas mahasiswa perguruan tinggi swasta. Jika tidak memnuhi target dan standarisasi operasional, konsekuensi berantai ini ekuivalen dengan pengurangan anggaran yang tentu saja memberi kendala terhadap produktivitas perguruan tinggi.
Ketiga, kompleksitas (complex) terkait dengan jaringan hubungan yang rumit dan interdependensi antara berbagai faktor dan elemen dalam lingkungan perguruan tinggi. Faktor-faktor tersebut mencakup sistem pengelolaan perguruan tinggi, kepentingan berbagai pemangku kepentingan (seperti mahasiswa, fakultas, staf, dan alumni), keragaman program studi, dan kompleksitas tantangan sosial yang ada di masyarakat.
Keempat, ambiguitas (ambiguity) didefinisikan sebagai ketidakjelasan yang melingkupi suatu peristiwa dan maknanya, atau sebab-sebab di balik terjadinya sesuatu yang tidak jelas dan sulit dipahami. Ambiguitas dalam VUCA dapat dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk secara akurat mengidentifikasi ancaman dan peluang. Di perguruan tinggi, ambiguitas dapat muncul dalam perencanaan strategis, pengambilan keputusan, pengukuran kinerja, dan harapan dari pemangku kepentingan yang berbeda.
Dalam catatan demikian, kampus sawasta dituntut harus melakukan adaptasi yang terus menerus jika tidak ingin tergerus. Dengan tuntutan itulah, salah satu upaya yang digalakkan kemudian beresonansi terhadap upaya memproyeksi profil lulusan yang linier dan mampu bersaing. Beberapa jurusan mau tidak mau melakukan replace dan switch terhadap matakuliah yang ditawarkan.
Mata kuliah yang dianggap tak mampu adaptif dan cenderung teralinenasi, dieksklusi dari kurikulum. Sebaliknya, matakuliah yang inklusif terhadap teknologi digital terus dimunculkan. Padahal jika ditilik lebih dekat, tidak setiap jurusan mampu secara fleksibel dan lentur adaptif terhadap perubahan industrial tersebut. (*)
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Prodi Sastra Indonesia, UAD Yogyakarta. Bergiat di Komunitas Jejak Imaji, dan Pendamping Komunitas Luar Ruang dan Serawung Filsafat.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Disrupsi Digital, Cuva, dan Jalan Terjal Kampus Swasta
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |