TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Dalam beberapa dekade terakhir, ruang publik islam bertranformasi menjadi arena pertarungan dari para aktivis yang mengajukan tantangan terhadap praktik-praktik penafsiran tradisional dan otoritas untuk berbicara atas nama islam, terutama untuk melakukan artikulasi kepentingan sosial dan agenda politik.
Membuka bidang sosial untuk orang-orang baru dan praktik-praktik diskursif baru bukan hanya melawan pemikiran yang telah lama hadir sebagai bentuk penafsiran atas agama, namun juga membuat kabur batas antara wacana publik dan private. Disisi lain juga akan menimbulkan kebiasaan baru dalam hal produksi dan konsumsi yang berkaitan dengan media baru.
Seperti yang terjadi di timur tengah pada tahun 1990-an, khutbah yang dibawakan oleh pengkhutbah populer arab di dalam taksi dan toko-toko, menjadikan kebiasaan mendengarkan berubah. Hal ini juga terjadi pada saat para ulama yang menyampaikan ceramah melalui radio dan televisi telah mengubah format interaktif mengenai jawaban yang dipersonalisasi menjadi format yang lebih menyerupai publikasi
Kehadiran media baru menjadikan beberapa aspek dalam bidang sosial menjadi meluas yang ditandai dengan lebih dari sekedar perebutan otoritas dan lebih dari sekedar suara yang berkembang dari bawah maupun batas-batas yang kabur keagamaan.
Media Baru dan Profil Kepentingan
Inti dari meluasnya ruang publik islam, dimana media merupakan bidang dan aktivitas sosial yang kompleks dan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses perkembangan ruang publik islam. Media memberikan akses agar bagaimana publik bisa menerima lebih banyak informasi mengenai islam dan dalam lebih banyak kesempatan.
Wacana keislaman juga mengalami pergerakan yang cukup cepat mengikuti pasar dan terjadi penyelarasan praktik-praktiknya melalui komunikasi elektronik. Beberapa media yang telah terhubung dengan penyiaran satelit dan internet memungkinkan hadirnya suara baru untuk melakukan pengumpulan terhadap audiens baru.
“Kelas menengah saleh” yang memperluas pola ekspresi, pencarian dan kesalehan agama ke dalam saluran baru, yang produksi dan konsumsinya bisa diakses serta berkembang sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya.
Dimulai dari ceramah keagamaan yang disampaikan bukan lagi di atas mimbar, melainkan dalam bentuk audio dan video, hingga materi pelajaran agama untuk anak-anak yang bisa digunakan oleh orang tua di tempat yang tidak memiliki akses terhadap sekolah agama atau sebagai alternatif pelajaran. Pada akhirnya, nasihat keagamaan berbasis teologis ini bisa dilakukan oleh “mufti media” tanpa memikirkan ruang dan waktu.
Salah satu ciri khas dari media baru adalah dengan menjadikan pesan keagamaan bisa disampaikan di luar jalur konvensional. Media baru juga yang kemudian mengaburkan batas-batas antara genre ekspresi dan ruang sosial keagamaan.
Integrasi Fitur dan Konsepsi Ruang Publik
Internet sebagai media baru mampu menyatukan fitur-fitur yang terpisah dari media baru lainnya. Internet juga memiliki hambatan yang lebih rendah untuk masuknya produsen media. Terlebih relasi yang lebih simetris antara produsen dan konsumen, tingkat interaktivitas yang tinggi juga merupakan keunggulan dari internet jika dibandingkan dengan media yang lebih tua, seperti media cetak dan penyiaran.
Konsep ruang publik pertama kali disinggung oleh Habermas, dimana ruang publik dijadikan sebagai bentuk dan aktivitas komunikasi yang relatif tidak terpengaruh oleh tuntutan status dan representasi ritual otoritas formal. Komunikasi yang dihadirkan oleh konsep ini berhasil karena “kemampuan” membentuk kata-kata, bukan atas otoritas (agama, sosial dan politik) pembicara.
Dalam konteks global, media baru pada masyarakat muslim, lebih mirip dengan revolusi cetak pada modernitas awal jika dibandingkan dengan media massa periode modernitas akhir. Ruang publik lebih mirip dengan kedai kopi pada masa modernitas awal daripada masyarakat massa yang jenuh termediasi, yang oleh Habermas disebut sebagai modernitas akhir.
Ahli Teknologi dan Kepentingan Islam
Pada periode awal internet hanya sedikit “islam online” dan internet nyaris tidak terlihat. Suatu ruang komunikasi terbuka yang terdistribusi, terdesentralisasi dan terstruktur dalam jaringan (bukan hirarkis), dimana konten disusun berdasarkan kepada kepentingan penggunanya.
Dalam konteks permisif ini, islam memasuki dunia maya dengan diperantarai oleh apa yang disebut Jon W Anderson sebagai “ahli teknologi” yang mempunyai akses dan keahlian untuk membawa kepentingan islam ke dalam media baru. Diantara yang dibawa oleh “ahli teknologi” ke dalam dunia maya adalah Al-Quran dan Hadits serta diskusi keagamaan.
Forum diskusi keagamaan mengenai islam dan topik terkait secara khusus diikuti oleh umat islam yang berada di luar negeri dalam waktu yang tergolong lama, seperti mahasiswa, imigran, eksis dan beberapa dari mereka yang masih memiliki hubungan dengan tanah air.
Terlebih dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di dunia modern yang tidak di konfigurasikan secara khusus melalui istilah islam. Salah satu alasan mengapa teks dan diskusi keagamaan yang dijadikan sebagai pilihan, hal ini dikarenakan awal internet dibangun melalui arsip dan forum pesan.
Selama lebih dari 1 abad, tanggapan islam mengenai modernitas telah meneguhkan “syariah” dalam arti perilaku kehidupan, bukan kesalehan sebagai wajah publik islam maupun keterlibatan sosial politik. Pendekatan yang dilakukan jauh lebih objektif dan analitis serta sejalan dengan upaya yang dilakukan selam lebih dari 100 tahun dalam memperlakukan islam sebagai sebuah sistem pada idiom modern.
Salah satu diantara tokoh utamanya adalah Muhammad Rashid Rida (1865-1935), seorang jurnalis yang berasal dari suriah, dimana pendidikan awalnya pada bidang agama dilengkapi dengan pelatihan ilmu pengetahuan modern agar dapat menampilkan islam pada idiom baru.
Ketika bekerja di kairo yang menjadi pusat media baru dengan ratusan jurnal yang hadir atas kemunculan media cetak mekanis dalam Bahasa arab. Rashid Rida menggunakan bentuk jurnalisme yang lebih mandiri dan format buku artikel yang ditulis oleh para jurnalis.
Setelah hadirnya internet, dalam konteks dan model yang sama, “ahli teknologi” mulai membawa teks-teks inti islam dan pembahasannya ke dalam internet. Teks tersebut merupakan hasil terjemahan yang dipindai dari perpustakaan universitas dan diletakkan secara online dengan diskusi yang sebagian besar berbahasa inggris.
Kemudian mencakup yang lain seiring dengan menyebarnya internet di kalangan luar universitas. Para pengikut berasal dari kalangan aktivis, terlebih setelah munculnya World Wide Web yang membuat internet lebih mudah diakses oleh kalangan yang tidak terlatih secara teknis.
Banyak dari kalangan aktivis ini yang tertarik oleh teknologi namun lebih fokus pada agama, dimana mereka vokal untuk menyuarakan dan memberikan konteks yang hilang dari teks-teks keagamaan. Beberapa dari aktivis ini juga memanfaatkan teknologi web yang membuat internet lebih mudah diakses oleh publik.
Bahkan beberapa dari aktivis membuat halaman web untuk sekolah tradisional, universitas, jaringan sufi transnasional, gerakan keagamaan nasional, organisasi misionaris hingga organisasi nasional muslim di negara barat. Hal inilah yang kemudian melahirkan juru bicara professional, pendapat yang beragam, modal sosial dan jaringan. Perkembangan ini tidak hanya meningkatkan keragaman secara keseluruhan, namun juga jarak sosial antara produsen dan konsumen.
Ruang Peralihan: Persaingan Dibalik Keragaman
Meluasnya ruang publik islam menandakan bahwa ini bukan hanya kontes, persaingan otoritas dan tanggapan. Melainkan, ini adalah keragaman nyata dari dunia Muslim. Pada konteks ini, web islam yang muncul tidak terlalu memiliki keterkaitan pada institusi yang ada, seperti halnya situs-situs islam awal. Sekalipun ada, hanya untuk kepentingan memediasi kepentingan dan materi yang dimuat menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat yang lebih akrab dengan internet melalui pekerjaan dan sebagai alat pencari informasi.
Dalam perjalanannya, internet dikembangan pada Tingkat regional sesuai dengan profilnya dan mengalami perluasan ceruk yang dipelopori oleh para “ahli teknologi” awal, diantaranya meningkatnya upaya individu ke dalam layanan pembangunan internet seperti hosting situs hingga desain web.
Praktik di ruang publik ini memperluas kepentingan dari praktik yang sifatnya pribadi, lokal, khusus dan terkadang memiliki keterikatan kelas ke dalam ruang publik yang baru lahir dan dikumpulkan ke dalam ruang peralihan antara ruang diskursif tradisi tekstual islam, di mana perbedaan pendapat dihadapkan secara teknis dan sistematis kepada basis pembelajaran yang sama dan otoritas yang berbeda, namun tetap tertanam pada pengalaman pribadi serta relasi personal dengan para guru.
Pada kesempatan yang lain, beberapa kalangan memilih jalan islam politik sebagai jalan alternatif yang dianggap lebih lengkap daripada jalan resmi dari otoritas syariah. Hal ini menunjukkan bahwa internet mampu menghadirkan beragam pilihan melalui lingkup interaksi yang telah disediakan untuk melakukan perkumpulan, berekspresi hingga melakukan ujian dalam publik yang termediasi.
Komunitas Siber dan Ruang Wacana Publik
Bagi Benedict Anderson terlalu berlebihan jika kalangan ini disebut sebagai komunitas siber, seperti yang dibayangkan oleh para perintis teknologi, namun akan lebih baik jika dilihat sebagai suatu ruang wacana publik yang relatif bebas dari representasi ritual untuk hidup sendiri dan setidaknya bisa mengatasi kondis tersebut.
Penggunaan internet sudah selayaknya ditempatkan di ranah wacana alat komunikasi sosial untuk menjadi perantara antara dunia private dan ritual publik dan ini merupakan bagian dari rangkaian dimana aktivis sosial bergerak.
Media baru mampu melahirkan lebih banyak suara, pandangan, keterampilan dan pengalaman yang kemudian membentuk kembali ruang publik islam. Hal ini lebih dari sekedar merebut kembali agama dari ranah politik, namun untuk memahami ruang publik kontemporer islam yang berguna untuk membedakan kesadaran diri masyarakat sebagai hasil dari alat komunikasi sosial serta sebagai pembeda dari titik kritis di ruang publik.
***
*) Oleh : Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos, Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mediatisasi Ruang Publik Islam
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |