TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Rencana pemerintah dan DPR untuk menaikkan bantuan dana keuangan partai politik (dana parpol) dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara memicu perdebatan publik. Di tengah pro dan kontra, Alfath Bagus Panuntun, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan dukungannya atas wacana tersebut dengan sejumlah catatan penting.
Alfath menyebut kebijakan peningkatan bantuan keuangan negara kepada parpol merupakan langkah maju, selama dibarengi dengan reformasi tata kelola dan pengawasan anggaran yang transparan. Ia menyoroti temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkap bahwa kontribusi negara saat ini hanya mencakup sekitar 1,5 persen dari kebutuhan minimum partai politik.
"Ketergantungan partai terhadap keluarga pendiri dan oligarki sangat tinggi. Ini membuka peluang terjadinya politik transaksional yang jauh dari semangat pelayanan publik," jelas Alfath dalam diskusi di Kampus UGM, Rabu (30/7/2025).
Ia mengingatkan, peningkatan dana tidak boleh menjadi legitimasi untuk memperbesar keuntungan elite partai. Karena itu, menurutnya, reformasi internal partai menjadi hal mendesak, termasuk dalam proses rekrutmen kader yang berorientasi pada etika publik, bukan semata kekuasaan dan materi.
Lebih lanjut, Alfath menyoroti lemahnya sistem pelaporan keuangan partai saat ini yang sering kali hanya “wajar tanpa pemeriksaan”. Untuk mengatasi hal tersebut, ia mendorong adanya audit sosial yang melibatkan publik. Alfath menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyelenggarakan forum tahunan terbuka, di mana partai politik wajib menyampaikan laporan penggunaan dana kepada masyarakat, akademisi, LSM, dan jurnalis.
"Laporan keuangan harus dipublikasikan di website resmi masing-masing partai. Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka disalurkan," tegasnya.
Terkait penggunaan dana parpol untuk pendidikan politik, Alfath menekankan perlunya indikator keberhasilan yang konkret. Salah satunya, ia menilai keberhasilan pendidikan politik dapat tercermin dari kualitas perdebatan publik, baik di ruang fisik maupun digital.
"Jika diskursus publik mulai membahas isu-isu penting secara kritis, maka bisa dikatakan pendidikan politik berhasil," tambahnya.
Sebagai langkah jangka panjang, ia juga mendorong revisi undang-undang pemilu dan partai politik, serta perbaikan manajemen internal parpol agar pengelolaan dana lebih transparan dan jauh dari praktik korupsi.
Menutup pernyataannya, Alfath menegaskan bahwa demokrasi yang sehat harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. "Demokrasi tidak boleh eksklusif. Rakyat perlu dilibatkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar sistem berjalan dengan akuntabel dan terbuka," paparnya. (*)
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Faizal R Arief |