TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Meskipun belum resmi ditetapkan, mayoritas kemenangan di Pilkada 2024 mengarah kepada kekuasaan tunggal. Kesuksesan menjalankan prosedur elektoral, disertai dengan ancaman pemerintahan hanya dikelola oleh sekelompok orang. Potensi penumpukan kekuasaan bermula sejak koalisi ditetapkan.
Pilkada serentak 2024 menghasilkan pemusatan kekuasaan. Kerakyatan yang menjadi ciri khas demokrasi tereduksi dengan sistem perwakilan yang sangat terbatas. Demokrasi yang mencirikan pemerintah yang terbuka, terkontrol dan pasif, mendadak berubah menjadi lahan mencari jabatan dan mempertahankannya.
Demokrasi memang berhasil mentransfer pemimpin sebagai perwakilan rakyat. Tapi mewujudkan rakyat menjadi warga negara yang dapat menagih hak pilihnya perlu diwujudkan bersama. Partisipasi individu telah dilaksanakan pada hari pemungutan suara. Saatnya beranjak ke partisipasi komunitarian sebagai wujud hak kolektif pasca Pilkada. Setelah aktualisasi prosedur dijalankan, dilanjutkan dengan aktualisasi modalitas lokal (Faishal, 2007).
Menjalankan demokrasi hanya melalui Pilkada itu sama sekali tidak cukup, karena partisipasi dalam pembuatan kebijakan justru dilakukan setelah calon pemimpin dinyatakan terpilih. Harus ada serangkaian komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan dialog. Posisi tawar publik lebih tinggi daripada suara di bilik suara. Cara pandang ini untuk membatasi kelompok elit menyusun kebijakan sesuai dengan kepentingannya.
Politik Deliberatif
Agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang hegemonik, diperlukan pembuatan kebijakan di mana pemerintah tetap dikendalikan oleh warna negara. Adanya kondisi di mana gagasan untuk mengembalikan, menyadarkan dan menyatakan bahwa akselerasi rakyat dijamin dalam menjalankan pemerintahan. Perbincangan bebas lebih penting daripada menyajikan angka-angka statistik dalam pembuatan kebijakan.
Jangan sampai kemenangan Pilkada melahirkan otoritas yang koersif. Potensi kekuasaan tunggal dan terpusat yang terbungkus dalam pola patronase dihadang sedini mungkin. Demokrasi deliberatif tidak mengakui adanya penumpukan kekuasaan ke segelintir elit. Peran pemerintah wajib dibatasi sehingga publik mempunyai kuasa untuk menolak lalu mendukung kebijakan yang menguntungkan semakin banyak orang.
Kebijakan pemerintah didasarkan pada kepentingan warga negara yang terdiri dari berbagai macam subyek dengan banyak latar belakang ketika menciptakan diskursivitas dalam pengambilan kebijakan publik. Lynn Sanders (1997) menyatakan, dibutuhkan kesempatan yang sama dalam politik untuk menawarkan notasi partisipatif dimana kemampuan para aktor mewakili agregasi kepentingan untuk menciptakan area publik dalam menyusun kebijakan pemerintahan.
Dengan demikian, pengakuan pada argumentasi dan keterlibatan partisipan dalam proses politik menjadi representasi dari optimalisasi peran individu, institusi dan konstitusi dalam kehidupan politik. Proses ini mempunyai fungsi kontrol demokrasi yang subtansial, bukan sekedar simbol (Dryzek, 2000).
Dan untuk meminimalisir defisit demokrasi diperlukan adanya inisiatif reformasi politik yang dititikberatkan pada kelembagaan representasi politik (Törnquist, Warrow dkk 2009). Salah satu caranya adalah membangun aliansi antara partai politik, masyarakat sipil, kalangan bisnis dan organisasi sektoral untuk memperbaiki kerenggangan representasi politik agar lebih konsolidatif.
Institusionalisasi Demokrasi
Setelah pemungutan suara, hasil pilihan individu menjadi pilihan kolektif. Hubungan antara pemilih dan calon terpilih adalah hubungan politik yang membutuhkan institusi. Yaitu proses penguatan, pengaturan dan pengintegrasian nilai-nilai, prinsip dan praktik demokrasi ke dalam sistem politik, sosial dan budaya suatu pemerintahan. Tujuan utamanya memastikan demokrasi tidak berjalan formal tetapi menjadi bagian yang mengakar sepanjang perjalanan pemerintahan.
Pasca Pilkada adalah pembuktian bahwa kekuasaan negara bukanlah terbentuk dari rangkaian panjang penguasaan oleh satu kelompok tertentu. Pemerintah terpilih menawarkan diri sebagai bagian dari keseluruhan proses di mana kekuasaan menjadi titik awal untuk berbagi, yaitu berbagi sumber daya dan kewenangan bersama.
Oleh karena itu, dalam menjamin insititusionalisasi demokratis, dimulai dari penguatan partai politik dan elit. Memperkuat fungsi partai politik oleh elit dalam mengagregasi kepentingan bahkan setelah Pilkada usai. Sudah bukan jamannya lagi partai politik sibuk hanya dalam tahapan pencalonan saja.
Dengan mengaktifkan semua saluran perwakilan mulai dari membuka kantor di setiap tingkatan, mengaktifkan interaksi media termasuk media sosial serta aktif bersua dengan warga masyarakat adalah cara-cara untuk meningkatkan hubungan dialogis dalam mengakomodasi kepentingan publik yang lebih luas. Tindakan ini juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai politik yang terus menurun.
Sembari mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai politik, para calon terpilih mulai menyusun agenda tata kelola pemerintahan yang optimal. Cara pandang mengelola pemerintahan adalah pelayanan terhadap warga negara yang telah mewakilkan urusan publiknya saat pemungutan suara.
Pelayanan publik sebagai rangkaian pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga tidak kalah penting dengan mencari suara saat kampanye. Institusi penyelenggara pemerintahan adalah wajah konkret kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari. Dari budaya dilayani menjadi tradisi melayani dengan mengedepankan orientasi pada hasil, bukan berputar-putar pada kerumitan birokrasi.
Bagi mayoritas warga negara, kebutuhan standar hidup sesungguhnya tidak muluk-muluk. Secara administrasi, warga negara dimudahkan ketika mengurus dokumen identitas, surat-surat penting, kartu izin dan surat-surat lainnya. Kemudian kebutuhan penyediaan barang dan distribusinya misalnya terkait sandang, pangan, papan dan air bersih. Pun demikian dengan kebutuhan sarana dan prasarana yang menyangkut pendidikan, kesehatan, transportasi dan pelayanan sosial sejenisnya.
Kebutuhan dasar ini, secara konkret harus terus disediakan oleh negara sebagai institusi pelayan masyarakat. Negara selalu menawarkan dirinya sebagai bagian dari keseluruhan proses di mana kekuasaan menjadi titik awal untuk dibagi. Kekuasaan bukanlah milik satu kelompok tertentu atau dikelola dari dan untuk aparatusnya sendiri.
Jika partai politik hadir untuk memastikan pemerintahan terpilih melayani dengan baik kepada warga masyarakat, institusionalisasi demokratis berikutnya adalah penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Sistem peradilan dan regulasi di mana yang berperan dalam mengatur mekanisme keadilan, memutuskan aturan main dan menegakkan keadilan bukan hanya lembaga peradilan tetapi wujud dari interkoneksitas antar lembaga dan organisasi yang mempunya daya ikat yang kuat.
Selain mengoptimalkan aparat penegak hukum, mewujudkan keadilan hukum juga melibatkan organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil. Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum dapat meningkatkan kepercayaan publik sekaligus menguatkan pencegahan daripada harus mengobati pelanggaran.
Pada akhirnya, penguatan partai politik, pemerintah yang merakyat dan penegak hukum yang tanpa pandang bulu adalah institusionalisasi demokratis yang menjadi harapan rakyat kedepan. Ruang publik sebagai wahana deliberasi politik berperan besar dalam mengakomodasi individu dan kelompok dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya melalui institusi yang kolektif dan inklusif.
Sehingga kebanggaan kita sebagai negara demokratis ditunjukkan dengan kualitas pemerintahan yang baik. Saatnya mengembalikan fungsi lembaga demokrasi untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemilik sesungguhnya; rakyat.
***
*) Oleh : Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |