https://jogja.times.co.id/
Kopi TIMES

Tafsir Filosofis Golput

Sabtu, 07 Desember 2024 - 09:34
Tafsir Filosofis Golput Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI dan Magister Filsafat UGM

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Golput (golongan putih) sering menjadi perdebatan hangat setiap kali pemilu berlangsung. Di satu sisi, ia dianggap sebagai ekspresi apatisme terhadap politik. Di sisi lain, golput juga dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap legitimasi kekuasaan yang dianggap cacat.

Dalam konteks ini, golput bukan hanya tindakan individual, melainkan fenomena sosial-politik yang mencerminkan krisis legitimasi di tengah degradasi sistem demokrasi modern. 

Simptom Krisis Kepercayaan

Pemilu sering dianggap sebagai mekanisme utama demokrasi untuk memperbarui legitimasi kekuasaan. Namun, apa yang terjadi ketika sebagian besar masyarakat merasa tidak memiliki kandidat yang layak untuk dipilih? 

Fenomena ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap institusi politik. Menurut Max Weber (1978), legitimasi kekuasaan bergantung pada keyakinan bahwa pemimpin dan sistemnya memiliki otoritas yang sah. Dalam sistem demokrasi, legitimasi ini diperoleh melalui partisipasi rakyat dalam pemilu.

Golput menantang anggapan ini. Ketika warga negara secara sadar memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, mereka pada dasarnya sedang mempertanyakan validitas sistem politik itu sendiri. Hal ini menjadi refleksi atas kegagalan demokrasi dalam memenuhi aspirasi rakyatnya. Dengan kata lain, golput adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: ketidakmampuan sistem politik untuk mewakili kehendak umum secara autentik.

Dalam perspektif kritis, golput juga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni politik. Hal ini sebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci (1971) bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan melalui dominasi langsung, tetapi juga melalui hegemoni, yaitu kontrol atas ideologi dan wacana publik. 

Hegemoni politik sering kali memaksa warga untuk menerima pilihan-pilihan yang terbatas dalam pemilu, sehingga mereka merasa tidak ada alternatif yang benar-benar mencerminkan kepentingan mereka.

Golput, dalam konteks ini, adalah bentuk resistensi terhadap narasi dominan. Ia menolak tunduk pada permainan politik yang menawarkan “kebebasan semu.” Ketika kandidat atau partai yang bersaing dianggap hanya mewakili elite tertentu, pilihan untuk tidak memilih menjadi cara untuk memprotes struktur kekuasaan yang tidak adil. 

Namun, resistensi ini memiliki keterbatasan. Golput, tanpa strategi lanjutan, cenderung menjadi tindakan pasif yang tidak menawarkan solusi. Dalam jangka panjang, ia dapat memperkuat status quo karena absennya partisipasi aktif justru memberikan ruang bagi elite politik untuk terus mendominasi. 

Etika Partisipasi Politik

Dalam The Human Condition, Hannah Arendt (1958) menekankan pentingnya tindakan manusia di ruang publik. Baginya, politik adalah arena di mana manusia menunjukkan eksistensinya melalui dialog dan tindakan kolektif. Golput, meskipun dapat dipandang sebagai tindakan politik, sering kali tidak memenuhi standar ini karena ia cenderung absen dari dialog publik yang konstruktif.

Namun, golput juga bisa dilihat sebagai langkah awal dalam etika partisipasi politik. Ia memaksa masyarakat untuk mempertanyakan struktur politik yang ada. Ketika diartikulasikan dengan jelas, golput dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan struktural. Tantangannya adalah bagaimana mengubah tindakan ini dari sekadar penolakan pasif menjadi agenda politik yang konkret.

Fenomena golput juga relevan dalam konteks era post-truth, di mana kebohongan dan manipulasi informasi menjadi senjata politik. Ketika publik merasa bahwa informasi yang mereka terima tidak dapat dipercaya, mereka cenderung kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik. Dalam era post-truth, manipulasi informasi akan semakin melemahkan kepercayaan publik, mempertegas peran golput sebagai kritik terhadap integritas sistem (McIntyre, 2018). 

Namun, dalam era ini, golput menghadapi dilema etis. Tidak berpartisipasi dalam pemilu dapat dianggap menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang lebih terorganisir, termasuk mereka yang menggunakan manipulasi sebagai alat utama. Oleh karena itu, golput memerlukan narasi yang lebih kuat untuk membedakan dirinya dari apatisme politik biasa.

Menuju Demokrasi Inklusif

Untuk mengatasi krisis legitimasi yang ditandai oleh golput, diperlukan reformasi mendalam dalam sistem politik. Salah satu pendekatan adalah memperluas ruang partisipasi warga negara di luar pemilu, seperti melalui demokrasi deliberatif yang mendorong diskusi publik yang inklusif dan substansial. 

Demokrasi deliberatif yang menekankan diskusi publik, sebagaimana diusulkan Jürgen Habermas (1989), dapat menjadi solusi untuk memperluas partisipasi warga negara. Dalam konteks ini, golput tidak lagi dipandang sebagai penolakan terhadap demokrasi, melainkan tuntutan untuk demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. 

Selain itu, reformasi sistem pemilu juga penting untuk memastikan bahwa kandidat yang bertarung benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Mekanisme seperti proportional representation atau ranked-choice voting dapat membantu memperluas pilihan politik dan mengurangi alasan bagi masyarakat untuk golput.

Golput merupakan fenomena yang kompleks dan sarat makna politis. Dalam perspektif kritis filsafat sosial-politik, golput mencerminkan krisis legitimasi kekuasaan, resistensi terhadap hegemoni, dan tantangan terhadap etika partisipasi politik. Namun, agar golput berdampak nyata, ia harus melampaui sekadar protes pasif. 

Diperlukan narasi yang jelas dan agenda politik yang konkret untuk mengubah golput menjadi kekuatan yang mampu mendorong reformasi sistemik. Golput, dalam esensinya, adalah cermin dari kegagalan sistem politik untuk memenuhi aspirasi rakyat. 

Dengan membingkai ulang makna golput dalam konteks dialog publik dan reformasi politik, tindakan ini dapat menjadi kekuatan transformasi sosial yang turut berpartisipasi menuju demokrasi yang lebih adil, inklusif, dan representatif.

***

*) Oleh : Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI dan Magister Filsafat UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.