TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Pada sebuah kegiatan kuliah umum di kampus, saya sempat melakukan survei kecil kepada kurang lebih 200 mahasiswa yang saat itu hadir. Survei kecil ini terkait perilaku bermedia remaja saat ini, dan bagaimana paparan informasi lokal yang sehari-hari mereka lihat di media. Media dalam hal ini bisa media tradisional maupun yang berbasis media sosial.
Sudah bisa ditebak bahwa sebagian besar mahasiswa menjawab tidak lagi mengakses media tradisional arus utama seperti televisi, radio dan surat kabar. Sebenarnya hal ini bisa dikatakan cukup wajar karena di era digital, generasi muda lebih familiar dengan konten yang tersedia secara digital di gandetnya. Apalagi sudah sejak lama hampir semua media arus utama memiliki kanal di media digital seperti portal media online, media sosial maupun konten on-demand lainnya.
Pertanyaan selanjutnya kepada mahasiswa adalah mengenai informasi dari lingkungan sekitar atau dari kota tempat mereka tinggal saat ini. Saya bertanya jenis informasi apa saja yang penting diketahui di sekitar mereka.
Sebagian besar dari mereka menjawab beberapa hal, antara lain informasi tentang kecelakaan lalu lintas, bencana alam, politik, kemacetan lalu lintas, cuaca, dan kriminalitas. Mahasiswa juga menjawab bahwa berita tentang informasi lokal ini sebagian besar dipenuhi oleh akun-akun besar di media sosial yang tidak berafiliasi dengan media profesional.
Dari hasil survei sederhana dan singkat ini bisa diketahui bahwa informasi tentang isu lokal hanya sebatas topik yang sifatnya konsumsi harian saja semacam kecelakaan lalu lintas, kemacetan dan kriminalitas.
Jawaban ini membuktikan bahwa media sosial yang mereka akses sehari-hari lebih banyak menampilkan informasi tentang topik tersebut saja. Fakta ini patut menjadi tanda alarm bahaya bagi kita dan bagi perusahaan media arus utama.
Informasi lokal yang setiap hari sampai di tangan generasi muda semakin memiliki spektrum variasi yang sempit. Sedangkan kabar soal pemberdayaan masyarakat lokal, layanan publik dari pemerintah daerah, berita pendidikan, gerakan kelompok sipil, dampak perubahan iklim.
Permasalahan ketidakadilan berbasis gender dan lain sebagainya justru bukan menjadi informasi lokal yang sehari-hari dikonsumsi. Padahal sebagian besar informasi tersebut banyak tersedia di saluran media arus utama lokal, mulai dari media konvensional hingga digital.
Disrupsi teknologi pada industri media massa saat ini bukan lagi hanya permasalahan media tradisional versus media digital. Hal ini karena hampir sebagian besar media massa arus utama tradisional, baik yang berskala lokal maupun nasional juga telah mengembangkan kanal digitalnya masing-masing.
Namun jika generasi muda hanya mendapatkan informasi lokal yang terbatas, maka bisa diduga bahwa format digital dari media arus utama belum menjadi pilihan mereka dalam memperbaharui informasi sehari-hari, khususnya terkait dengan isu lokal.
Kondisi ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Jakpat di awal 2025, generasi muda saat ini, lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan berselancar di media sosial, menonton film/serial secara streaming, mendengarkan musik/podcast, bermain game, bermain dengan teman, olahraga dan membaca buku (Sugiarti, 2025).
Jumlah waktu yang dihabiskan setiap hari untuk mengakses media sosial cenderung lebih lama dibandingkan dengan menonton, membaca, dan mengakses konten dari situs berita online dan saluran digital lainnya yang dimiliki oleh media konvensional (Agustina, 2021).
Jika spektrum informasi lokal generasi muda saat ini masih memiliki keluasan dan kedalaman yang terbatas, maka bisa diduga bahwa media sosial belum berhasil menjadi medium pembawa dan penyebar informasi lokal yang efektif.
Secara bisnis, ini juga menjadi gejala yang kurang baik bagi ekosistem portal berita online. Hal ini karena pengiklan akan menjauh dari media karena rendahnya visibilitas dan impresi produk atau jasa yang mereka iklankan di portal berita online.
Kondisi ini perlu direspons dengan intervensi dari berbagai pihak. Cara yang paling sering mengemuka adalah penguatan literasi komunikasi digital bagi generasi muda.
Cara kerja echo-chambers yang berlaku di algoritma media sosial membuat kita seolah kenyang akan informasi, namun banyak dari informasi tersebut kurang berbobot dan belum memberikan pengayaan yang memadai terkait isu-isu lokal yang terjadi di sekitar kita.
Jika hal ini tidak segera direspons dengan baik, maka warga akan dengan mudah menjadi abai dan apatis dengan isu-isu lokal, yang mungkin justru membutuhkan perhatian dan dukungan dari masyarakat sipil setempat.
***
*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |