TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Dana Desa yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan puncak dari semangat desentralisasi fiskal pasca-reformasi, yang bertujuan untuk memandirikan desa sebagai subjek pembangunan. Dengan anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Dana Desa dirancang untuk memutus mata rantai sentralisasi pembangunan yang terjadi selama puluhan tahun.
Namun, kontroversi terbaru mengenai penyaluran Dana Desa Tahap II yang disyaratkan dengan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) telah menyingkap sebuah ketegangan struktural yang laten, yaitu antara cita-cita otonomi fiskal lokal dengan praktik komando politik dari pusat. Konflik ini bukanlah isu administratif belaka, melainkan manifestasi terkini dari dilema sejarah perimbangan keuangan Indonesia yang tak pernah tuntas.
Gagasan desentralisasi dan perimbangan keuangan bukanlah barang baru dalam sejarah tata kelola Indonesia. Sejak era kolonial, isu ini telah diperdebatkan sehingga memunculkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Regulasi tersebut hanya amandemen (tambahan) parsial terhadap Regerings Reglement 1854.
Pasca-kemerdekaan, sistem perimbangan keuangan mulai didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956. Meskipun aturan ini meletakkan dasar-dasar desentralisasi, implementasinya seringkali timpang, di mana sumbangan pemerintah pusat masih menjadi bagian terbesar dari penerimaan daerah, sebuah kondisi yang bertentangan dengan prinsip otonomi sejati.
Sistem ekonomi sentralistik mencapai puncaknya sepanjang Orde Baru. Dalam rezim ini, ketimpangan antara pusat dan daerah dilebarkan dengan kekuasaan fiskal dan politik terpusat di Jakarta.
Reformasi 1998 menjadi titik balik. Keran desentralisasi dibuka kembali melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Secara umum, tujuan utama otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Undang-Undang ini berusaha menerapkan konsep money follow function dan mengembalikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom.
Momentum ini kemudian berlanjut ke level pemerintahan terendah dengan lahirnya Undang-Undang Desa, yang memberikan mandat keuangan berupa Dana Desa untuk dikelola berdasarkan kebutuhan dan hasil Musyawarah Desa. Dalam konteks sejarah ini, Dana Desa adalah upaya progresif untuk menghilangkan pola sentralistik lama.
Dana Desa didesain sebagai dana afirmatif untuk menstimulasi pembangunan yang berbasis kebutuhan lokal, yang diputuskan melalui mekanisme partisipatif Musyawarah Desa. Namun, ambisi ini terbentur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025.
PMK ini secara sepihak menambahkan syarat baru bagi penyaluran Dana Desa Tahap II, yaitu kewajiban memiliki akta pendirian badan hukum Kopdes Merah Putih dan pernyataan komitmen dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) untuk pembentukan koperasi.
Akibatnya, seperti yang diungkapkan oleh Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), pencairan dana di sejumlah daerah tersendat sejak September 2025, dengan miliaran hingga triliunan rupiah Dana Desa tertahan. Ketua Umum Apdesi, Surta Wijaya, menyoroti bahwa aturan baru ini memaksa desa mengubah arah belanja yang sudah dirumuskan melalui Musyawarah Desa dan berisiko menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah desa. Selain itu, realitas lapangan juga menjadi kendala karena tidak semua desa memiliki lahan atau kebutuhan mendesak untuk mendirikan koperasi yang seragam.
Persoalan Dana Desa ini menyingkap permasalahan tata kelola yang jauh lebih fundamental, yakni cara negara memaksakan orientasi politik ke dalam ruang fiskal desa. Ketika dana publik yang seharusnya menjadi hak otonomi desa dijadikan insentif bersyarat untuk memaksakan keseragaman kelembagaan (baca: Kopdes Merah Putih), maka terjadi pembelokan fungsi kebijakan fiskal. Alih-alih melayani fungsi alokasi pembangunan berdasarkan partisipasi lokal, Dana Desa bertransformasi menjadi alat komando politik.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Menkeu Purbaya memang melepaskan tanggung jawab administrasi dengan menyebut persoalan ini sebagai ranah Kementerian Koperasi dan Kemendes PDT, sekaligus mempertanyakan penolakan Apdesi. Namun, penggunaan PMK Kemenkeu sebagai syarat penyaluran dana menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dimanfaatkan untuk menekan kepatuhan institusional.
Mekanisme ini secara efektif menganulir proses perencanaan partisipatif yang telah dihasilkan melalui APBDes dan Musyawarah Desa. Desa kehilangan otonomi mereka untuk menentukan prioritas pembangunan sendiri. Program pembangunan pun terhenti dan kepercayaan publik yang sudah dibangun susah payah dapat terkikis.
Dalam sistem desentralisasi yang sehat, keputusan fiskal seharusnya mengikuti kebutuhan fungsional (prinsip money follow function) dan proses partisipatif (Musdes). Ketika pola ini dibalik, di mana syarat kelembagaan yang seragam didiktekan dari atas sebagai prasyarat pencairan dana, maka terjadi sentralisasi terselubung.
Desa tidak lagi diposisikan sebagai subjek pembangunan yang berhak merencanakan dan mengelola sumber dayanya, melainkan hanya sebagai perpanjangan tangan kekuasaan pusat yang dipaksa melaksanakan agenda kelembagaan yang seragam.
Selama pola penggunaan insentif fiskal sebagai alat komando politik ini dibiarkan, otonomi fiskal yang diamanatkan Undang-Undang Desa akan menjadi fatamorgana. Ekonomi desa tidak akan pernah tumbuh secara organik berdasarkan potensi dan kebutuhan lokalnya, melainkan akan selalu terikat pada paksaan kelembagaan yang rentan terhadap kepentingan politik jangka pendek.
Solusi atas kemelut ini terletak pada pengembalian fungsi Dana Desa sesuai Undang-Undang dan menjamin kepastian hukum, di mana peraturan menteri tidak boleh mencederai prinsip fundamental otonomi dan partisipasi desa yang telah diabadikan dalam Undang-Undang Desa dan semangat desentralisasi.
***
*) Oleh : Wurianto Saksomo, Alumnus S1 FH UGM dan S2 MAP UGM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |