https://jogja.times.co.id/
Opini

Relasi Job Hugging dan Resiliensi Mental Health Gen Z

Kamis, 25 September 2025 - 22:31
Relasi Job Hugging dan Resiliensi Mental Health Gen Z Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Fenomena “job hugging” kian marak dibicarakan, terutama di kalangan Gen-Z yang baru memasuki dunia kerja. Istilah ini menggambarkan kecenderungan seseorang untuk bertahan terlalu lama pada pekerjaan tertentu, bahkan ketika pekerjaan itu tidak lagi sejalan dengan minat, kebutuhan, atau kesejahteraan psikologisnya. 

Berbeda dengan “job hopping” yang identik dengan sering berpindah pekerjaan untuk mencari peluang baru, job hugging cenderung lahir dari rasa takut kehilangan stabilitas, ketidakpastian akan masa depan, atau ketergantungan pada keamanan finansial.

Di satu sisi, job hugging dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen pada pekerjaan. Namun, pada sisi lain, ia berpotensi menjadi jebakan psikologis yang membuat pekerja muda mengabaikan kesehatan mental dan pertumbuhan kariernya. Di sinilah relasi antara job hugging dan resiliensi mental health menjadi relevan untuk dikaji, khususnya di tengah tuntutan dunia kerja yang semakin dinamis.

Gen-Z sering disebut sebagai generasi yang paling sadar kesehatan mental. Survei Deloitte Global Gen Z and Millennial 2024 mencatat bahwa isu kesejahteraan mental menjadi salah satu pertimbangan utama mereka dalam memilih pekerjaan. Namun, kesadaran ini tidak selalu diiringi kemampuan adaptif untuk menghadapi tekanan dunia kerja. 

Banyak Gen-Z yang bertahan di pekerjaan yang toxic, hanya karena takut tidak menemukan pekerjaan baru atau khawatir mengecewakan keluarga. Situasi ini bisa mengikis daya lenting psikologis (resilience) mereka, yang seharusnya menjadi bekal menghadapi perubahan.

Resiliensi mental bukan sekadar kemampuan bertahan dari tekanan, tetapi juga kemampuan untuk bangkit, belajar, dan beradaptasi setelah menghadapi tantangan. Dalam konteks job hugging, resiliensi mental dapat berperan sebagai penyeimbang: ia membantu individu mengevaluasi apakah bertahan di satu pekerjaan adalah pilihan sehat atau sekadar hasil dari rasa takut. 

Individu dengan resiliensi yang baik cenderung mampu membuat keputusan karier yang lebih rasional, termasuk keberanian untuk pindah ketika pekerjaan mengganggu kesehatan mental.

Namun, membangun resiliensi bukan hal yang instan. Dunia kerja saat ini sering kali menghadirkan “paradoks produktivitas”: tekanan untuk terus bekerja keras dan mencapai target, sementara ruang untuk refleksi diri dan istirahat semakin sempit. 

Tanpa dukungan organisasi, job hugging dapat berubah menjadi fenomena “career stagnation” yang membuat karyawan merasa terjebak dan kehilangan motivasi. Akibatnya, stres kronis, burnout, bahkan gejala depresi bisa muncul.

Di titik inilah peran organisasi dan pembuat kebijakan menjadi penting. Perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan fleksibel, sehingga karyawan muda tidak merasa harus bertahan demi keamanan finansial semata. 

Program employee assistance, konseling psikologis, dan kesempatan pengembangan diri adalah bentuk investasi jangka panjang yang tidak hanya menguntungkan karyawan, tetapi juga meningkatkan produktivitas perusahaan.

Bagi Gen-Z sendiri, membangun resiliensi mental dapat dimulai dari langkah sederhana: mengenali batas diri, mengelola ekspektasi, dan mengasah keterampilan problem solving. Komunitas atau support system juga berperan penting, karena memiliki jejaring sosial yang suportif terbukti dapat menurunkan risiko gangguan mental. 

Di era digital, Gen-Z dapat memanfaatkan sumber daya daring seperti kursus pengembangan diri atau forum diskusi karier untuk memperkuat ketahanan psikologis mereka.

Fenomena job hugging juga seharusnya dipandang tidak sepenuhnya negatif. Bagi sebagian orang, bertahan dalam pekerjaan yang sama justru memberikan rasa aman yang dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan baru, membangun portofolio, atau mempersiapkan langkah karier berikutnya. Namun, keputusan untuk bertahan harus dilakukan secara sadar dan strategis, bukan hanya karena takut gagal.

Relasi antara job hugging dan resiliensi mental health pada akhirnya adalah soal keseimbangan. Job hugging bisa menjadi pilihan yang sehat bila didasari kesadaran, dukungan mental yang baik, dan rencana karier jangka panjang. 

Tetapi, jika ia justru menjadi sumber stres dan hambatan perkembangan, keberanian untuk melepas pekerjaan adalah langkah penting demi kesehatan mental.

Generasi muda perlu didorong untuk memiliki keberanian mengambil keputusan karier yang sejalan dengan nilai hidup mereka, tanpa dibayangi rasa takut atau tekanan sosial. Dunia kerja yang sehat seharusnya memberi ruang bagi setiap individu untuk berkembang tanpa harus mengorbankan kesejahteraan psikologisnya. 

Dalam jangka panjang, kombinasi antara resiliensi mental dan kebijakan kerja yang inklusif akan menciptakan generasi pekerja yang lebih produktif, bahagia, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

***

*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.