TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Fenomena premanisme kini semakin marak, khususnya terhadap oknum yang secara terang-terangan mengatasnamakan diri sebagai “Preman”. Fenomena ini merupakan tantangan serius bagi penegakan hukum di Indonesia.
Klaim identitas tersebut kerap dijadikan dalih oleh kelompok ini untuk melakukan berbagai tindakan melanggar hukum seperti intimidasi, pemerasan, kekerasan, dan penguasaan wilayah secara ilegal.
Secara normatif, prinsip negara hukum (rechtsstaat) menegaskan bahwa pemerintah dengan kekuasaanya mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Menjaga keamanan dan ketertiban berada di tangan negara, dan tidak dapat digantikan atau diklaim oleh pihak manapun, termasuk kelompok preman.
Oleh karena itu, klaim “preman” tidak dapat memberikan legitimasi apapun terhadap tindakan kriminal yang dilakukan. Dalam hal ini posisi negara harus tegas dan jelas, jangan main setengah-setengah.
Adanya Asas Perlindungan Hukum (Legal Protection) yang dipopulerkan oleh Gutav Radbruch mempertegas peran negara yang harus dapat hadir untuk memberikan melindungi bagi warga negara. Asas ini juga menekakan negera harus dapat melindungi rakyatnya dari tindakan sewenang-sewenang atau kekerasan dari pihak manapun.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) secara tegas menyebutkan tugas negara dalam memberantas premanisme. UU Ormas memberikan kerangka hukum bagi negara untuk mengawasi dan menindak organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindakan bertentangan dengan hukum, mengganggu ketertiban umum, atau bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Premanisme yang terorganisasi dan beroperasi dalam bentuk ormas ilegal atau yang menyalahgunakan status ormas dapat dikenakan sanksi hukum hingga pembubaran oleh pemerintah.
Secara hukum, tindakan berupa intimidasi, pemerasan, pengeroyokan, atau penganiayaan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disebutkan dengan tegas setiap tindakan yang melanggar tindak pidana, seperti Pasal 368 tentang pemerasan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan unsur intimidasi, Pasal 170 tentang pengeroyokan, dan Pasal 351 tentang penganiayaan, dengan demikian jelas undang-undang telah mengatur serta memberikan sanksi pidana yang tegas bagi pelaku premanisme.
Selain itu, Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia memberi kewenangan penuh kepada aparat penegak hukum untuk memberantas segala bentuk gangguan keamanan yang meresakan, termasuk premanisme.
Penegak hukum sering kali dirasa ketakutan atau kragu dalam menindak kelompok orang yang mengatasnamakan preman. Tindak ini seringkali menimbulkan kekosongan penegakan hukum sehingga dimanfaatkan pelaku untuk terus melancarkan aksi mereka. Diamnya penegak hukum seolah menciptakan celah untuk eksistensi aksi preman.
Ketidaktegasan ini tidak hanya merusak citra penegakan hukum, tetapi juga merampas hak masyarakat untuk hidup aman dan tenteram. Negara harus dapat menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak warga negara dari segala bentuk kekerasan dan intimidasi.
Penegakan hukum yang tegas, profesional, dan tanpa kompromi sangat diperlukan agar hak masyarakat terlindungi. Aparat Pengak hukum harus didukung secara penuh oleh masyarakat. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dan edukasi hukum juga harus menjadi prioritas agar warga tidak takut melapor dan dapat berperan aktif dalam memberantas premanisme.
Pendekatan preventif dengan cara melakukan edukasi hukum dan pemberdayaan masyarakat dapat membantu memunculkan kesadaran hukum di masyarakat. Masyarakat perlu dibekali pengetahuan dan keberanian untuk melaporkan tindakan premanisme tanpa rasa takut akan intimidasi atau pembalasan. Negara dapat memfasilitasi terbentuknya Paralegal di tingkat masyarakat yang nantinya menguatakan pemahaman dan kesadaran hukum di masyarakat.
Negara melalui alatnya yaitu kepolisian dan lembaga penegak hukum lainnya harus dapat secara aktif menjaga keamanan dan ketertiban umum. Tindakan premanisme yang mengancam ketenteraman masyarakat harus segera ditindak secara profesional dan tanpa kompromi.
Kewenangan aparat untuk menindak dan membongkar jaringan preman harus didukung dengan sumber daya yang memadai dan integritas yang tinggi agar hasilnya efektif dan berkelanjutan.
Masyarakat sendiri mempunyai peran penting sebagaimitra strategis dalam pemberantasan premanisme. Masyarakat diharap dapat berpartisipasi aktif yang kemudian didukung dengan sistem pelaporan yang cepat dan terintegritas.
Selain itu, perlu adanya sistem perlindungan terhadap pelapor mengingat yang dilaporkan adalah sekelompok orang yang bisa saja bertindak anarkis. Pelapor disini harus merasa aman untuk melaporkan tindak kriminal tanpa rasa takut akan intimidasi atau pembalasan.
Oleh sebab itu, sistem perlindungan saksi dan pelapor harus diperkuat dan dijalankan secara serius agar keberanian masyarakat dalam mendukung penegakan hukum semakin meningkat.
Dengan demimikan maka Negara harus menjadi benteng untuk melindungi keadilan dan menciptkan ketertiban. Dengan keberanian dan ketegasan negara dalam mengatasi premanisme ini maka akan tercipta lingkungan yang aman, damai, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Masrakat akan semakin aman jika perlindungan di berikan oleh negara buka oleh sekelompok orang.
***
*) Oleh : Atqo Darmawan Aji, S.H., M.H., Fakultas Hukum UAD.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |