TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Bayangkan sebuah negara besar dengan sejarah panjang, penduduk ratusan juta, dan posisi strategis di peta geopolitik dunia, namun berada dalam kondisi yang membuatnya terasa seperti tidak memiliki ibu kota.
Bukan karena undang-undang tidak menetapkannya, bukan karena gedung negara hilang atau runtuh, melainkan karena secara psikologis dan fungsional, pusat gravitasi kenegaraan Indonesia sedang berada di ruang kosong, mengambang di antara masa lalu dan masa depan, tidak sepenuhnya berada di Jakarta, namun juga belum benar-benar bertransformasi di IKN.
Inilah masa yang oleh para ahli disebut sebagai keadaan liminal: kondisi peralihan yang belum rampung, ketika identitas lama belum sepenuhnya dilepas, sementara identitas baru belum benar-benar dikenakan.
Pada level administratif, Jakarta bukan lagi ibu kota. Pada level operasional, sebagian besar roda pemerintahan masih berjalan di sana. Pada level simbolik, IKN belum hadir sebagai pusat baru yang hidup. Akibatnya, bagi sebagian masyarakat, Indonesia terasa seperti negara yang belum memiliki pusat pemerintahan yang jelas.
Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis. Ia menyentuh aspek terdalam dari komunikasi politik dan psikologi kebangsaan. Dalam ilmu psikologi komunikasi, ibu kota bukan hanya ruang fisik, melainkan titik jangkar identitas kolektif. Ia mengirimkan pesan tentang siapa kita, ke mana negara bergerak, dan di mana pusat koordinasi yang mengatur arah bangsa.
Ketika titik jangkar itu longgar atau bergeser tanpa kejelasan, masyarakat merasakan ketidakpastian yang halus namun signifikan. Ambiguitas ini mempengaruhi banyak hal. Dalam kehidupan sehari-hari, publik merasakan disonansi: berita-berita tentang pemindahan ibu kota muncul bersamaan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh aktivitas pemerintahan masih di Jakarta.
Gedung-gedung baru di IKN dipromosikan sebagai simbol masa depan, namun ruang-ruang pengambilan keputusan tetap berada di pusat metropolitan yang lama. Tidak ada satu pun dari keduanya yang sepenuhnya memerankan peran pusat negara. Situasi ini menciptakan kesan kuat bahwa Indonesia sedang berjalan tanpa satu pusat komando yang benar-benar kokoh.
Bagi anak muda, efeknya lebih jauh lagi. Generasi yang tumbuh di era digital membutuhkan simbol dan narasi yang jelas untuk membangun identitas kebangsaan mereka. Ketika pusat simbol negara tampak kabur, narasi global mengambil alih.
Budaya pop internasional lebih tertata dan lebih sering tampil di layar ponsel mereka dibandingkan simbol-simbol nasional. Dalam teori psikologi komunikasi, ini disebut narrative displacement ketika narasi eksternal mengisi ruang kosong yang seharusnya ditempati narasi nasional.
Di media sosial, kekosongan ini tampak jelas. Perdebatan tentang ibu kota lebih sering berubah menjadi polarisasi: pro-Jakarta, pro-IKN, anti-pemindahan, atau anti-status quo. Tanpa pusat simbolis yang diakui bersama, opini publik mudah terpecah menjadi kubu-kubu kecil yang saling bersandar pada interpretasi masing-masing.
Ruang digital kehilangan titik rujukan. Ketika negara tidak memiliki “suara pusat” yang kuat, ruang publik menjadi lebih rentan terhadap hoaks, manipulasi informasi, bahkan kampanye politik yang mengatasnamakan nasionalisme tanpa fondasi yang jelas.
Kondisi seperti ini bukan hal baru di dunia. Sejarah menunjukkan negara-negara yang kehilangan atau mengalami kekosongan pusat, baik karena perang, konflik internal, atau transisi berkepanjangan menghadapi tantangan besar.
Libya pernah terpecah menjadi dua pemerintahan karena tidak ada pusat legitimasi yang diakui bersama. Somalia kehilangan kemampuan mengatur diri setelah pusat pemerintahannya runtuh dan tidak segera pulih.
Bahkan negara stabil seperti Amerika Serikat sekalipun, ketika pusat simboliknya diserang pada peristiwa 9/11, merasakan guncangan identitas yang sangat besar. Semua contoh ini memperlihatkan satu hal: ibu kota bukan sekadar kota, melainkan jantung negara.
Tentu Indonesia tidak berada dalam kondisi krisis seperti negara-negara itu. Namun, kita sedang berada dalam fase unik dalam sejarah: fase ketika pusat pemerintahan lama perlahan ditinggalkan, dan pusat baru belum benar-benar hidup.
Setiap fase liminal, betapapun damai prosesnya, membawa ketidakpastian psikologis yang perlu dikelola dengan baik. Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai bangsa?
Masyarakat dapat mulai dengan memperkuat literasi digital dan kebangsaan. Tidak sekadar mengonsumsi informasi, tetapi juga memahami dari mana informasi itu berasal dan bagaimana ia memengaruhi persepsi kita terhadap negara.
Simbol kenegaraan perlu dihidupkan kembali, baik melalui edukasi, narasi publik, maupun partisipasi dalam diskusi kebijakan. Anak muda harus diberi ruang untuk merasa terhubung dengan simbol-simbol negara, bukan hanya lewat buku sejarah, tetapi melalui konten digital, seni, budaya, dan komunikasi kreatif yang relevan dengan kehidupan mereka.
Platform digital juga memegang peran penting. Di era ketika informasi menyebar lebih cepat daripada penjelasan resmi, platform perlu bekerja sama dengan lembaga negara untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses pada informasi yang akurat dan mudah diakses.
Fitur khusus yang merangkum keputusan nasional, data makro, hingga perkembangan IKN bisa menjadi “ibu kota digital” ruang yang menyatukan persepsi publik ketika ruang fisik sedang bertransisi. Kolaborasi dengan kreator lokal juga krusial agar pesan kebangsaan tidak kaku, melainkan hidup dalam bahasa yang dimengerti generasi baru.
Indonesia tidak sedang benar-benar tanpa ibu kota. Secara hukum, IKN adalah pusat negara. Secara sejarah, Jakarta masih memegang kendali operasional. Namun dalam benak publik, dalam rasa kolektif bangsa, dan dalam identitas simbolik yang sedang berubah.
Kita memang berada dalam situasi seolah-olah tidak memiliki ibu kota yang sepenuhnya berfungsi sebagai pusat bangsa. Transisi ini tidak boleh dibiarkan menjadi kekosongan. Identitas nasional bukan sesuatu yang muncul dengan sendirinya; ia tumbuh dari narasi, partisipasi, dan kesadaran publik.
Indonesia terlalu besar untuk dibiarkan berjalan tanpa pusat yang jelas. Dan tugas kitalah, bersama-sama, memastikan bahwa pusat itu baik di IKN maupun dalam ruang digital tetap hidup, kokoh, dan menjadi rumah simbolik bagi seluruh rakyatnya.
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dalan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |