https://jogja.times.co.id/
Opini

Sekolah Ajari Sopan, Kapan Belajar Marah?

Kamis, 17 Juli 2025 - 08:54
Sekolah Ajari Sopan, Kapan Belajar Marah? Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Amerika Serikat memang belum resmi menetapkan tarif 19 persen untuk produk ekspor Indonesia, tetapi syarat yang diajukan untuk penurunan tarif dari 32 persen sudah cukup membuat kita mengernyitkan dahi. 

Empat syarat itu tidak main-main: Indonesia diminta untuk tidak mengenakan tarif apapun terhadap produk AS, membeli energi AS senilai Rp244 triliun, membeli produk pertanian AS Rp73 triliun, dan mengakuisisi 50 pesawat Boeing untuk maskapai nasional. 

Ini bukan negosiasi biasa ini tuntutan sepihak yang menyaru dalam nama kerja sama. Sementara itu, di dalam negeri, tidak ada riak perlawanan berarti. Hanya senyuman yang tetap kita jaga, seolah-olah ketidakadilan itu bukan sesuatu yang perlu disikapi.

Apa yang membuat bangsa ini begitu sabar? Atau lebih tepatnya: begitu takut? Jawabannya mungkin bukan hanya politik atau ekonomi, tapi lebih dalam, yaitu soal karakter bangsa yang dibentuk sejak dari bangku sekolah. 

Kita telah terlalu lama mencetak generasi yang hanya pandai menunduk, bukan berdiri. Pendidikan kita sibuk mendisiplinkan murid agar patuh, sopan, tidak banyak protes. 

Ketika anak-anak mempertanyakan kebijakan, mereka dianggap pembangkang. Ketika mereka mengkritik guru, mereka dimarahi. Maka sejak kecil kita terbiasa menyimpan kegelisahan, dan menganggap keberanian untuk marah sebagai kesalahan etika.

Sebuah unggahan viral di media sosial mencerminkan kegelisahan ini. “Dulu dijajah pakai bedil, sekarang pakai tarif. Dulu tanah kita diambil, sekarang pasar kita dijual,” tulis seseorang dalam komentar yang menyindir situasi dagang Indonesia dan Amerika. 

Potongan kalimat itu menyentil, bukan hanya karena isinya pedas, tapi karena banyak dari kita sadar: kita benar-benar telah diajari sopan santun sampai lupa cara marah. Kita menjadi bangsa yang diam ketika haknya dikurangi, dan ramah saat martabatnya digerus.

Padahal, bangsa lain tak malu menolak jika syarat perjanjian tidak adil. Lihat Vietnam, yang berani menahan kesepakatan dagang jika dirasa tidak menguntungkan petani dan buruhnya. Lihat juga Korea Selatan, yang bisa berkata “tidak” saat perusahaannya dirugikan, bahkan kepada mitra dagang terbesar sekalipun. 

Mereka bisa melakukan itu bukan karena lebih besar, tapi karena mereka tahu betapa pentingnya harga diri bangsa. Mereka memiliki generasi yang berani berpikir kritis, dan itu tidak terjadi secara kebetulan. Itu hasil dari sistem pendidikan yang memupuk rasa bangga dan keberanian sejak dini.

Lalu kita? Kita justru masih menilai kesuksesan pendidikan dari seberapa banyak siswa lulus ujian nasional atau diterima di universitas ternama. Kita lebih bangga pada ranking PISA daripada pada seberapa kuat karakter dan logika anak-anak kita. 

Kita membangun sistem yang mendorong murid berlomba dalam nilai, tapi melarang mereka bersuara ketika melihat ketidakadilan di sekitarnya. Kita takut anak-anak kita menjadi “terlalu kritis,” karena khawatir dianggap tak sopan.

Padahal, yang kita butuhkan sekarang bukan hanya siswa pintar, tetapi siswa yang berani. Berani membela yang benar, berani menolak yang tidak adil, dan berani menjaga harga diri bangsanya dalam forum apapun. 

Tanpa keberanian itu, kita akan terus menjadi bangsa pemakai produk luar, pemakai keputusan orang lain, pemakai narasi yang tak kita susun sendiri. Dan jika kelak anak cucu kita bertanya, “Kenapa Indonesia tak bisa menentukan sikapnya sendiri?” maka jawabannya akan menyakitkan: karena sejak kecil, kita tidak diajari untuk berani.

Inilah saatnya kita mengubah arah pendidikan kita. Bukan dengan mencabut nilai sopan santun, tapi dengan menyeimbangkannya dengan logika, keberanian, dan nasionalisme kritis. Sekolah bukan hanya tempat mendidik supaya anak-anak bisa mencari kerja, tapi tempat melahirkan manusia yang bisa menjaga kehormatan bangsa. 

Kita butuh ruang di kelas untuk belajar bicara, berpikir tajam, dan tidak takut berbeda pendapat. Kita butuh guru-guru yang mendukung muridnya berdebat sehat, bukan menghukum karena bertanya.

Karena kalau sekolah cuma ajari sopan, kapan kita belajar marah? Dan kalau kita tak pernah belajar marah, jangan heran bila kita terus disetir dalam diam, dikendalikan oleh syarat yang kita tahu tidak adil, tapi terlalu takut untuk menolaknya.

***

*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.