https://jogja.times.co.id/
Opini

Bahasa, Wisata, dan Ironi Identitas

Rabu, 03 Desember 2025 - 08:43
Bahasa, Wisata, dan Ironi Identitas Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Wisata adalah kampung kecil bagi bahasa. Keduanya layaknya tubuh dan pakaian. Sebagai tubuh, wisata menawarkan lekuk kemolekan, sedangkan bahasa, menjadi panorama interioritas nilai kultural dan identitas. Inilah integrasi persuasi yang bergerak untuk meramu realitas dalam kesadaran pariwisata. 

Di dunia digital yang bernafas secara global, hampir tidak mungkin mengetepikan bahasa sebagai panggung kultural. Bagaimana tidak, realitas digital telah menjelma desa besar yang di dalamnya menjadi persinggahan konsumsi dan kapital. 

Dalam logika keduanya, menjadi moda transportasi bagi mini narasi yang membawa manusia menuju jalan-jalan simpang di sepanjang rumah digital. Di sinilah peran bahasa sebagai pertukaran kultural. Ia bekerja dalam logika permainan bagi pembeli dan penjual yang tengah tawar-menawar. 

Lalu di antara riuh desa digital tersebut, kampung wisata hadir sebagai barang dagangan. Bahasa membentuk pengalaman wisatawan dan mempromosikan praktik pariwisata. 

Hal ini tidak lain karena dalam ritus manusia digital, tradisi dan budaya menjadi ornamen ekologis emansipatoris. Ia menjadi kekuatan suatu sistem komunal untuk mendapat bagian dalam sistem negoisasi global. 

Dalam situasi demikian, bahasa menjadi kesatuan paket komoditas. Sebab, sebagaimana yang disampaikan, ia adalah atribut pakaian yang memberi nuansa kemajuan atau sebaliknya, membawa nilai-nilai tradisional.

Hal ini menunjukkan suatu visibilitas dan prevalensi bahasa dalam memengaruhi prototipe indentitas sekaligus alteritas pengunjung. Tengok misalnya, dari bandara Yogyakarta kita dapat dengan mudah mendapati panorama leksikon kedaerahan Sugeng Rawuh, yang kadang-kadang dapat dengan leluasa bersanding istilah lain in Cultural City. 

Di Bali pun demikian, sebagai kota pariwisata yang eksotik dengan tujuan wisatawan internasional, ia akan mengemas perjumapan melalui narasi Bali, Island to Paradise. Lantas di Labuan Bajo, gema Welcome to Labuan Bajo mengisi ruang kedatangan.

Fenomena tersebut menjadi representasi bagi penetrasi bahasa dalam ketegangan linguistik pariwisata. Bahasa daerah memiliki kapasitas sejauh ia mampu menjadi bagian dari mekanisme industri kapitalistik.

Artinya dalam ruang ini, bahasa-bahasa ini dipergunakan untuk tujuan komodifikasi, bukan sebagai alat interaksi yang budayakan oleh penuturnya. Memang tampak paradoks, ketika melihat fungsi komunikasinya, perlahan direnggut oleh penggunaan bahasa asing dan bahasa baru yang lebih elitis.

Bahasa dan Performa Hibriditas Identitas

Sebagai komponen esensial budaya, di ruang ini komodifikasi bahasa merupakan topik yang lazim namun kurang dieksplorasi dalam studi pariwisata. Padahal, saat ini tak berlebihan jika menempatkan bahasa sebagai moda utama reproduksi budaya, yang mencerminkan dan membentuk sikap, keyakinan, dan nilai-nilai budaya. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai komoditas yang meningkatkan daya tarik pariwisata.

Berkaitan dengan itu, dalam perspektif language commodification, untuk menjangkau peran demikian, bahasa selalu dikelola melalui konstruksi performa. Ia seringkali dikemas secara eksotik, ramah, dan memberi daya pikat bagi wisatawan. 

Alhasil, pemakaian bahasa untuk destinasi wisata cenderung bergerak pada sikap menjinakkan bahasa. Di satu sisi, leksikon bahasa daerah mengambil peran di dalamnya; di sisi lain, bahasa asing diberdayakan untuk memberi jangkauan lebih luas. Melalui logika demikian, bukankah bahasa pariwisata bergerak di antara binerisme eksploitasi lokal dan elitisitas bahasa global?

Di kota Yogya misalnya, angkringan dan nama semacam “Angkringan Maknyus”, “Angkringan Ndalem Gading” yang melekat, menjadi simbolitas kesadara kultural tentang kota yang murah, nyaman, dan merakyat. 

Dampaknya jelas, suatu nuansa melankolis yang akan tetap melekat pada memori kolektif, tantang aroma kopi, rasa wedang jahe, dan cita rasa nasi kucing di sepanjang kota. Tidak berlebihan jika Joko Pinurbo memotret lanskap kota dalam puisinya, bahasa Yoyakarta “terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”.

Lebih jauh, bahasa kemudian hadir dalam bentuknya yang paling multimodal. Dalam konteks demikian, bahasa hadir bersama suara dan simbol-simbol visualitas, yang menyatu dalam satu spektrum lanskap kota wisata. 

Suatu kafe dapat memuat simbol Jawa disertai jargon dan adagium pada sekujur tembok atau buku menu, lengkap dengan visual sesajen yang terduduk diam di setiap sudut ruangan. 

Tak jarang, tipikal café demikian juga menyisipkan bentuk-bentuk modern, bahkan dalam penamaan brand itu sendiri. Misalnya, di Yogya terdapat istilah “The Waroeng of Raminten”, memadukan bahasa Inggris, lokalitas populer, dan ironi urban. 

Di kota wisata lain semacam Bandung atau Bali, bahkan kita dapat dengan mudah menemukan suatu hibriditas identitas yang lebih rumit. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah bahkan dapat berdampingan dengan berbagai bahasa asing lain semacam Jepang, Arab, bahkan Korea. 

Bahasa-bahasa demikian, bukan untuk mengemban fungsi informasi, selebihnya sebatas prestise visual menyatukan yang lokal dengan modern dalam satu mekanisme kapital.  

Pada tahap lebih jauh, hal ini juga berimplikasi pada skema superdiversity, sebagai keragaman linguistik sebagai konsekuensi globalisasi semiotik. Slogan dan jargon menjadi tak sekedar pesan, melainkan desain mode dan gaya hidup. Maka bahasa yang seharusnya menandai kedekatan penggunanya, justru tercerabut dari akar sosialnya. 

Inilah paradoksal dari bahasa dalam kemasan wisata. Ketika mengadopsi konvensi naratif Barat, bahasa wisata membangun persona yang dikomersialkan untuk menavigasi ekspektasi wisatawan dalam menegosiasikan interaksi lintas budaya. 

Di saat yang sama, bahasa, sebagai komponen budaya lokal, terjerat dalam diskusi komersialisasi dan komodifikasi sehingga mengabaikan berbagai jenis dan fungsinya.

Maka bagaimana seharusnya kita bersikap secara objektif terhadap realitas ini? 

Kita perlu membuka diri, sebab pariwisata pun berdampak pada ekonomi lokal. Masalahnya adalah, sejauh mana kita dapat mendayagunakan aspek lokal dalam bahasa Indonesia dan daerah kita. 

Di tahap ini, komodifikasi bahasa mendukung pelestarian bahasa daerah yang terancam punah. Dengan pariwisata yang sering menggunakan nama dan bahasa pribumi, ternyata berimplikasi pada gagasan keaslian destinasi dan mempromosikan produk lokal. Hal ini juga dapat menumbuhkan kebanggaan dan minat budaya dalam komunitas lokal. 

Bukankah, jauh lebih baik meski bahasa berfungsi sekadar ornamen dan tenaga kerja dalam pariwisata, minimal kita tetap melihat penggunaan bahasa lokal dapat menjaga para penuturnya yang telah terjebak dalam ritus kota digital?

***

*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.