TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Sampah plastik merupakan salah satu problem lingkungan dalam beberapa dasawarsa terakhir. Masalah tersebut meliputi limbahnya yang sulit terurai, mahalnya biaya untuk proses daur ulang, hingga efek mikro dan nanoplastik yang dapat mencemari ekosistem kehidupan baik di darat, laut maupun udara.
Meskipun Indonesia telah mengatur tentang bagaimana pemilahan, pengurangan, dan daur ulang plastik, tetapi regulasi tersebut nampaknya tidak sejalan dengan problem sampah plastik yang seolah tidak dapat terselesaikan.
Hujan mikroplastik merupakan hujan air yang tercampur partikel-partikel mikroplastik yang berasal dari sampah plastik yang dibuang manuasia di bumi. Ini merupakan salah satu contoh dari akibat salahnya tata kelola sampah plastik di Indonesia.
Penelitian menyebutkan bahwa hujan mikroplastik kembali terjadi di beberapa kota di Indonesia (Ecoton Seij 2025). Hujan yang kita anggap selama ini sebagai air berkah, kini membawa bahaya mikroplastik. Air hujan yang biasanya menjadi penanda kehidupan kini menjadi penanda krisis ekologis yang kronis.
Problem lain yang muncul belakangan adalah hadirnya unsur mikroplastik dalam air minum yang kita konsumsi. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Ecological Observation and Wetland Conservations (ECOTON) bersama Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR), ditemukan adanya partikel mikroplastik dalam air ketuban dan urin para ibu hamil ini.
Temuan ini menandakan kegawatan kondisi air yang kita minum, udara yang kita hirup dan tanah yang menjadi sumber semua bahan pangan manusia. Bahaya mikroplastik, dengan demikian, tidak hanya menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan manusia, tetapi juga seluruh ekosistem mulai dari hewan, tumbuhan, dan lingkungan yang menjadi satu kesatuan dalam rantai makanan.
Tentu saja, minimnya kesadaran masyarakat tentang bahaya sampah plastik menjadi salah satu akar permasalahannya. Sebagian besar dari kita lebih memilih gaya hidup praktis; menggunakan alat makan sekali pakai, berbelanja dengan kantong plastik dari warung atau pusat perbelanjaan, membeli kopi dalam bentuk gelas plastik yang tidak ramah lingkungan, hingga takeaway makanan yang juga menggunakan kemasan plastik. Kebiasaan berbelanja via aplikasi daring juga menambah volume sampah packaging.
Sejumlah kebijakan pemerintah nampaknya juga tidak mampu mengubah kesadaran ini. Beberapa kebijakan tersebut antara lain Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2029 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2025 (Perpres 109/2025) tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Kebijakan-kebijakan tersebut yang seharusnya menandai perubahan besar arah pembangunan lingkungan hidup dan energi nasional menuju sistem pengelolaan sampah yang modern, efisien, dan berkelanjutan, terlihat hanya di hitam di atas putih saja. Tidak ada sosialisasi yang massif di masyarakat akar rumput dan dibarengi dengan tindakan-tindakan nyata dari pemerintah.
Sejauh ini, kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia sifatnya masih sangat administratif, bukan transformatif. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk menghadapi masalah ini setidaknya dengan beberapa tindakan berikut:
Pertama, perlu adanya gerakan masal secara nasional yang bisa dimulai dari gerakan sosial komunitas berbasis media sosial. Selama ini, kampanye lingkungan belum menjadi tren popular secara nasional.
Kampanye lingkungan yang selama ini sudah ada baru berbasis pada kasus-kasus lingkungan tertentu misalnya kampanye dengan hashtag #lawanAsap pada tahun 2021 yang disebabkan karena asap pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, lalu #ProtectOurOcean yang menginisiasi perlindungan ekosistem lautan, selain itu ada juga kampanye #AksiTolakSampah yang diselenggarakan oleh komunitas lokal.
Semua upaya tersebut membawa dampak baik, akan tetapi belum menjadi strategi nasional berkelanjutan. Aksi kampanye lingkungan perlu menitikberatkan pada masalah yang sebenarnya, yaitu konsumsi plastik yang berlebihan, dan apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengatasi itu.
Kedua, Sosialisasi kebijakan sampah harus menjadi program nasional. Selama ini, regulasi menekankan untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai. Tetapi, jangan-jangan masyarakat belum ada yang memahami apa itu plastik sekali pakai, apa itu plastic ramah lingkungan.
Masyarakat dilarang untuk membakar sampah plastic, tapi tidak dihadirkan solusi yang nyata untuk mengatasi sampah yang menggunung. Rakyat disediakan tong sampah yang beragam, tapi tidak diberitahu cara memilah sampah yang benar.
Sebagai sebuah ikhtiyar mulia, negara tidak harus sendirian menjalankan peran ini. Pemerintah bisa menggandeng organisasi lingkungan yang sudah eksis di lapangan atau lembaga swadaya masyarakat. Dengan begitu, regulasi yang sudah ada akan lebih strategis dan tepat sasaran.
Yang ketiga adalah perlunya keseriusan pemerintah dalam mengawasi perusahaan-perusahaan dalam menjalankan extended producer responsibility (EPR). Perusahaan yang menghasilkan produk sampah harus ikut bertanggungjawab dalam keberlanjutan lingkungan.
Program-program dalam EPR ini harus berdampak nyata di lapangan dan tidak hanya sekedar pemenuhan syarat administratif operasional perusahaan. Negara harus memberi sanksi atas pelanggaran yang dilakukan apabila korporasi tidak sanggup menjalankan fungsi EPR nya
Solusi terakhir untuk krisis lingkungan adalah standarisasi pengelolaan sampah yang merata di seluruh daerah untuk meminimalkan risiko pencemaran. Penghentian krisis alam ini adalah pilihan kolektif: masyarakat wajib mengubah gaya hidup menjadi lebih bijak dalam berplastik dan memilah sampah.
Sementara pemerintah dan korporasi harus mengadopsi mindset berkelanjutan yang menempatkan aspek kesehatan dan keselamatan lingkungan di atas keuntungan ekonomi, demi kontribusi bersama bagi kesehatan bumi dan generasi mendatang. (*)
***
*) Oleh : Salwa Faeha Hanim, S.H., M.H., Dosen Tetap, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |