https://jogja.times.co.id/
Opini

Royalti Musik Berpotensi Menghimpit Eksistensi Radio

Minggu, 24 Agustus 2025 - 15:46
Royalti Musik Berpotensi Menghimpit Eksistensi Radio Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

TIMES JOGJA, YOGYAKARTA – Polemik soal pembayaran royalti musik mencuat di tengah masyarakat pada beberapa minggu terakhir. Secara khusus ketika direktur sebuah jaringan restoran terkenal di Indonesia ditetapkan menjadi tersangka pada kasus pelanggaran hak cipta lagu. 

Meskipun akhirnya kasus ini mereda setelah pihak restoran membayar royalti musik senilai milyaran rupiah, tetapi kasus ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. 

Banyak pelaku usaha khawatir akan mendapatkan tuntutan serupa karena memutar musik. Misalnya pengusaha restoran, swalayan, pusat perbelanjaan, jasa transportasi dan lain sebagainya yang biasa memutar musik sebagai ambience sound atau hiburan bagi pelanggannya.  

Hal ini dampak dari penegakkan Undang Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) nomor 27 tahun 2025 sebagai peraturan pelaksana tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan.atau musik. 

Perlu diketahui bahwa pungutan atas royalti musik ini bukan sama dengan pajak yang akan masuk sebagai pendapatan pemerintah pusat maupun daerah. Royalti dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menjadi perantara antara pengguna komersial dengan pencipta lagu, musisi dan produser musik. Uang yang dikumpulkan oleh LMKN ini kemudian sepenuhnya didistribusikan kepada seniman musik tersebut. 

Secara prinsip, penegakan aturan ini sebagai hal yang patut diapresiasi untuk sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya hak cipta sebagai penghargaan atas karya yang telah dibuat seseorang. Terlebih, pada perkembangan teknologi digital saat ini, masyarakat diberikan banyak pilihan cara untuk menikmati musik, baik yang legal maupun ilegal. 

Meskipun demikian, sesuatu yang legalpun, belum tentu otomatis pasti mematuhi peraturan hak cipta. Sebagai contoh, ketika seseorang sudah berlangganan layanan musik digital secara premium, bukan berarti yang bersangkutan bebas memutar musik tersebut dengan tujuan komersial. 

Hal tersebut yang terkadang kurang dipahami masyarakat. Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri sebagian masyarakat juga mengalami kebingungan, karena regulasi yang digunakan sudah cukup usang, di tengah perkembangan media sosial dan teknologi digital saat ini.

Undang-Undang tentang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia saat ini adalah produk tahun 2014. Bisa dikatakan UU tersebut sudah cukup usang, bila melihat begitu pesatnya perkembangan musik dunia di tengah masifnya teknologi digital yang digunakan masyarakat sehari-hari.

Berbagai perspektif, kajian, diskusi dan opini terkait polemik ini sudah banyak diangkat di berbagai media. Maka tulisan ini akan berfokus pada dampak penegakan aturan royalti musik pada industri radio, khususnya radio komersial di Indonesia. Seperti diketahui, industri radio saat ini memasuki masa senja karena masifnya perkembangan platform musik dan podcast digital. 

Meluasnya akses internet di sampai ke pelosok, membuat akses terhadap platform musik digital tersebut menjadi semakin mudah dan murah. Media sosial juga turut mengambil alih ceruk pasar radio dengan tawaran user generated contentnya yang banyak, beragam, menarik dan terus mengikuti tren terkini. 

Maka keharusan membayar royalti bagi radio komersial semakin memberikan tekanan kepada salah satu industri komunikasi massa tertua di dunia ini. Banyak radio swasta saat ini yang memang masuk ke dalam kategori komersial. Namun sebagian besar radio tersebut masuk dalam kategori UMKM dengan omzet di bawah 500 juta per tahun. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, Radio komersial wajib membayar royalti sebesar 1,15 persen dari pendapatan iklan. Sedangkan RRI dan radio komunitas non komersial hanya dikenakan tarif sebesar 2 juta rupiah per tahun. 

Angka 1,15 persen memang seolah nampak kecil, namun nominal tersebut jauh di atas nilai pajak penghasilan yang tiap tahun rutin dibayarkan oleh manajemen radio. Pada prinsipnya, radio memang perlu memberikan penghargaan atas musik yang dibuat seseorang melalui sistem pembayaran royalti. 

Bila ditelusuri, mungkin masih banyak radio yang membayar royalti sesuai dengan besaran yang seharusnya. Namun di sisi lain, bila melihat sejarahnya, hubungan antara musisi, label rekaman dan radio sudah memiliki relasi yang sehat.

Jaman dulu, banyak musisi dan label yang terbantu oleh radio karena telah berjasa mempromosikan lagu-lagu mereka, khususnya musisi atau band yang baru mulai terjun ke industri musik. Maka di tengah proses revisi atas Undang Undang Hak Cipta tahun 2014 yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka baik juga bila pemerintah, DPR RI, LMKN, industri label rekaman dan musisi juga melibatkan pelaku industri radio komersial. 

Opsi pembayaran royalti melalui sistem “barter” bisa menjadi salah satu pilihan untuk mengurangi beban biaya royalti harus dibayarkan perusahaan radio. Barter yang dimaksudkan adalah “nilai promosi” yang dihitung sebagai keuntungan intangible bagi musisi dan label rekaman.

Radio perlu ditempatkan dalam posisi yang berbeda dibandingkan dengan jasa komersial lainnya yang sama-sama menggunakan musik dalam bisnisnya sehari-hari. Eksistensi radio perlu dipertahankan karena memberikan konten yang dekat secara emosi, niche dan lokal. 

Sesuatu yang luput dari media digital dan media sosial yang mendominasi gawai masyarakat perkotaan saat ini. Lokalitas sebuah konten, yang dibawakan dengan ikatan emosional yang dekat oleh penyiarnya, tidak dimiliki oleh banyak saluran komunikasi massa lain, baik yang tradisional maupun kontemporer. 

Dengan bertahannya radio, maka masyarakat tidak hanya terjebak pada algoritma bias media sosial yang kerap menjauhkan kita dari isu-isu lokal. Seperti diketahui, algoritma media sosial memang kerap menampilkan isu-isu lokal, namun biasanya isu lokal tersebut terkait dengan sensasi dan atau skandal yang kerap diberi label viral. 

Sedangkan isu lokal lain berbasis budaya, inovasi dan kemanusiaan terkadang kurang mendapatkan ruang yang memadai di media sosial. Misalnya, mungkin tidak banyak masyarakat Yogyakarta yang mengetahui Komunitas Banyu Bening di Sleman yang melakukan inovasi memanen air hujan. 

Dengan demikian, eksistensi radio perlu kita kawal bersama agar perasaan kolektif menjadi satu komunitas lokal dapat terus terjaga, di tengah konten-konten kecerdasan atifisial (AI) yang mulai marak di media.

***

*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jogja just now

Welcome to TIMES Jogja

TIMES Jogja is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.